Tarik Ulur Kebijakan Pandemi, Umat Butuh Solusi Hakiki

Oleh: Izzatunnisa

Satu tahun lebih pandemi covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, hingga saat ini jumlah kasus positiv masih pada angka yang cukup tinggi. Bahkan di bulan Juli ini kasus positiv meningkat tajam. Begitupun dengan angka kematian. Di kutip dari Tribunnews.com, pada hari Ahad, 18 Juli 2021 Indonesia berada pada urutan kedua penambahan kasus positiv terbanyak di dunia setelah Inggris dengan jumlah 54.674 kasus. Adapun kasus kematiaan, Indonesia mencetak rekor tertinggi baru pada hari Senin (19/7) sebagaimana yang di kutip dari CNN Indonesia. Penambahan jumlah warga yang meninggal akibat covid-19 di Indonesia tercatat sebanyak 1.338 orang dalam sehari. Ini merupakan jumlah tertinggi angka kematian covid-19 selama pandemi melanda Indonesia.

Melihat data ini, pandemi ini belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Pemerintah merespon melonjaknya kasus positiv dan kematian akibat covid-19 dengan menetapkan PPKM mikro dan darurat untuk beberapa wilayah. PPKM ini sebenarnya bukanlah kebijakan yang pertama. Sebelumnya, pemerintah telah memberlakukan berbagai strategi. Istilah yang digunakan juga beragam mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB transisi, micro lockdown.

Namun, Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan, ada banyak kalangan yang menilai kebijakan yang diambil pemerintah cenderung hanya berganti nama dan istilah namun pada tataran praktis, kebijakan itu tidak mampu menjawab persoalan yang ada.

Sejak awal, banyak pihak yang mengharapkan pemerintah memberlakukan karantina wilayah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di wilayah apabila dari konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. Menurut undang-undang ini setiap anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah perbatasan. Dalam undang-undang ini juga menetapkan bahwa selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

Namun, harapan hanya sekedar harapan. Undang-undang ini tidak pernah di lirik pemerintah. dengan alasan pemulihan ekonomi pemerintah menetapkan kebijakan yang longgar, tarik ulur dan tidak jelas. Ironinya, pemerintah menyatakan akan melakukan pemulihan ekonomi dengan memaksimalkan sektor pariwisata. Padahal, salah satu penyebab melonjaknya kasus ini termasuk di temukannya banyak varian baru, adalah tingginya mobolitas di luar rumah dan arus perpindahan manusia dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Hal ini pernah di sampaikan oleh Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute sebagaimana di kutip dari Antara news.com, Prof. dr., Amin Soebandrio. PhD. Menurutnya, munculnya varian-varian baru akibat mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab Covi-19 bisa terus terjadi selama mobilitas masyarakat tidak terkendali.

Kita di hadapkan pada kondisi bagai makan buah simalakama. Di satu sisi, perlu adanya upaya untuk memulihkan ekonomi sabagai salah satu pilar penting dalam suatu Negara. Kondisi perekonomian mengalami kontraksi tidak hanya saat pandemi. Sebelum pandemipun kondisi perekonomian Indonesia mengalami krisis. Alih-alih pendapatan Negara mampu menyediakan fasilitas terbaik sehingga tercapai suatu kesejahteraan, pemerintah malah seringkali berhutang untuk menutupi defisit pendapatan atau opsi lain dengan menarik pajak dari rakyat yang nilainya lebih tinggi dari sebelumnya. Pandemi, hanyalah salah satu faktor yang memperburuk kondisi perekonomian. Sehingga, saat pendemi datang, pemerintah tidak mampu mewujudkan apa yang terdapat dalam undang-undang karantina wilayah. Inilah pangkal lahirnya kebijakan tarik ulur yang telah sukses membuat masyarakat tersiksa secara fisik dan emosional.
 
Dilematis yang tidak berujung ini sebenarnya lahir dari seperangkat aturan yang berasal Ideologi Kapitalisme saat ini yang mengedepankan akal dan fikiran manusia dalam membuat hukum. Padahal nyatanya ia lemah dan terbatas. Andaikan aturan dari Sang Pencipta di terapkan, maka akan di temukan solusi tuntas problematika yang kita hadapi saat ini.

Islam sebagai sebuah agama dan Ideologi memiliki seperangkat aturan. Salah satunya adalah mengatur tentang ekonomi. Dalam Islam, pendapatan negara tidak berasal dari pajak ataupun dari sektor pariwisata. Pendapatan negara di dapatkan dari kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum meliputi :

1. Sarana umum yang di perlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll.
2. Kekayaan alam yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat dll.
3. Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah. Baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas seperti gas alam. Rasulullah Sallalllahu ‘Alayhi wa Sallam bersabda :
Kaum Muslim sama-sama berserikat dalamtiga perkara : padang, air, dan api” (HR. Abu- Dawud dan Ibnu Majah)

Adapun kepemilikan Negara meliputi ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, ‘usr, tanah milik negara, harta orang murtad dan harta orang yang tidak memiliki waris. Semua ini di kelola Negara dan di kembaalikan kembali kepada rakyaat dalam bentuk pelayanan terbaik. Saangat berbeda dengan sistem ekonomi kita saat ini yang pendapatan utamanya berasal dari pajak. Maka wajar, negara tidak mampu untuk memberikan pelayanan dengan fasilitas terbaik. Belum lagi jika pendapatan negara tersebut di gunakan untuk membayar hutang dan membayar bunga hutang yang begitu besar. 

Sudah saatnya kita menjadikan aturan yang berasal dari Allah sebagai aturan yang mengatur kehidupan kita. Hal ini, merupakan konsekuensi keimanan dan juga kebutuhan. 

Wallahu’allam

Post a Comment

Previous Post Next Post