(Learning Facilitator, Mahasiswi Sastra Arab Universitas Negeri Malang)
Memasuki pertengahan bulan Juli, angka kematian karena Covid-19 semakin menanjak. Melihat kondisi tersebut beberapa waktu lalu Menteri Agama mengajak masyarakat untuk mengheningkan cipta dan doa bersama sebagai wasilah untuk mendoakan tenaga kesehatan, relawan, seluruh masyarakat Indonesia. Agenda doa bersama dari rumah masing-masing ini dihadiri oleh hampir 10 ribu masyarakat umum, diwarnai pembacaan doa oleh enam tokoh agama Prof. Dr. KH Quraish Shihab (Islam), Pendeta Lipius Biniluk (Protestan), Kardinal Suharyo (Katolik), I Nengah Dana (Hindu), Bhante Pannyavaro (Buddha), Xs. Budi Tanuwibawa (Konghucu) agenda ini disiarkan secara langsung di stasiun TV dan kanal media sosial Kementrian Agama. Dalam agenda doa bersama ini Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama menyampaikan bahwa kehadiran bencana sejatinya untuk menyadarkan manusia agar mawas diri dan kembali dekat kepada-Nya. Betapa lemahnya manusia, dihadirkan makhluk kecil bernama corona saja sudah membuat gempar dunia, membuat collaps ekonomi negara.
Doa adalah inti ibadah, lewat doa juga manusia bisa berkomunikasi dengan Rabbnya secara langsung. Pray From Home merupakan sebuah pilihan yang tepat untuk mengiba kepada-Nya atas segala ketetapan-Nya. Hanya saja, doa saja tak cukup untuk mengakhiri pandemi Covid-19. Butuh ikhtiar fisik untuk menyelesaikan pandemi. Dalam agenda doa bersama kemarin langkah pemerintah mengajak masyarakat untuk bergotong royong dalam menyelesaikan pandemi Covid-19 ini sudah bagus, tapi apa jadinya ketika yang mengajak bekerja sama justru malah mendatangkan TKA dari China?
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya Mafahim Islamiyah menuturkan bahwasanya metode untuk memecahkan problematika manusia sifatnya harus berbentuk fisik dan dapat menghasilkan sesuatu yang nyata dalam kehidupan. Sebagai contoh misalnya langkah pemerintah mengetuk pintu langit dengan berdoa adalah aktifitas fisik yang menghasilkan nilai rohani, tetapi hasil dari doa tidak berbentuk fisik, hasil dari doa adalah pahala, sekalipun tujuan orang berdoa adalah untuk mendapatkan nilai rohani. Sedangkan masalah pandemi Covid-19 ini butuh metode penyelesaian yang sifatnya harus berbentuk fisik.
Tiga prinsip Islam dalam penanggulangan wabah sehingga segera berakhir tanpa korban lebih banyak lagi. Pertama, penguncian areal wabah sesegera mungkin. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallaam bersabda, yang artinya, “Apabila kalian mendengarkan wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apa bila terjadi wabah sedangkan kamu sedang berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.“ (HR Muslim). Kedua, pengisolasian yang sakit. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya, “Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.” (HR Bukhari). “Hindarilah orang yang berpenyakit kusta seperti engkau menghindari singa.” (HR Abu Hurairah). Ketiga, pengobatan segera hingga sembuh. Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasalam, yang artinya, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan diadakan-Nya bagi tiap-tiap penyakit obatnya maka berobatlah kamu, tetapi janganlah berobat dengan yang haram.”
Pemerintah mengajak seluruh masyarakat berdoa kepada Allah untuk menyelesaikan pandemi Covid-19 ini, berarti pemerintah mengakak masyarakat untuk mengetuk pintu langit agar diberikan jalan keluar. Sejatinya 1400 tahun yang lalu sebelum pandemi ini muncul, Rasulullah telah jelaskan sebuah konsep paling jitu dalam menangani wabah, tapi manusia maunya cari jalan lain. Apa buktinya? Seperti yang kita tahu hari ini ekonomi adalah sektor nomor satu yang harus diselamatkan. Lihatlah hari ini setelah pemerintah menyelamatkan sektor ekonomi, ekonomi Indonesia justru turun kelas. Ya begitulah, pemerintah mengelola negara tanpa dilandasi konsep riayah (pengurusan) kepada rakyat, rakyatnya susah diatur karena hilangnya kepercayaan kepada pemerintah. Tak heran jika angka kematian karena Covid-19 semakin melambung pesat.
Berbagai sabda Rasulullah yang sudah tersaji sempurna memang tidak akan ada artinya tanpa ditopang oleh sistem politik yang benar. Seperti yang terjadi di Indonesia hari ini, konsep lockdown belum bisa diterapkan. Mengapa? Ya karena untuk lockdown harus menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang sedang diisolasi, jangankan memenuhi kebutuhan rakyat untuk isolasi, menutup hutang saja tidak kunjung selesai. Pemerintah juga dalam kondisi dilema, maju kena mundur kena. Bak memakan buah simalakama. Jika pemerintah memilih sektor ekonomi, hal pertama yang dikorbankan adalah nyawa rakyat. Tapi ketika memilih sektor kesehatan, yang dikorbankan adalah ruh negara. Bagaimana kondisi negara di kancah internasional, bagaimana jika berbagai target yang dicanangkan PBB tidak tercapai, bagaimana jika tidak bisa menutup hutang negara.
Wajar berbagai dilematis ini terjadi, sebab negara yang tidak berdiri di kaki sendiri (berdikari) memang tidak akan pernah bisa keluar dari jeratan sistemik yang meniscayakan sebuah negara mengikuti pusaran arus internasional. Pusaran arus itu sedang dikendalikan oleh negara adidaya Amerika Serikat dengan sistem yang sedang eksis hari ini, Sistem Kapitalisme. Sesuai namanya kapitalisme sebuah paham yang sandaran utamanya adalah uang, jangan heran jika sistem ini mengurus rakyat dasarnya untung rugi. Kalau ada untungnya ambil, kalau enggak ya nggak usah.
Sistem kapitalisme bukanlah sistem yang ideal sebagai iklim hidup seorang muslim. Sebab sistem ini memiliki asas pemisahan antara agama dengan kehidupan. Sebuah asas yang sampai kapanpun tidak akan mengizinkan Islam untuk mengatur urusan kehidupan. Sehingga berbagai konsep Islam yang sudah dicontohkan Rasulullah tidak akan pernah terterapkan dengan sempurna dalam sistem ini. Maka jika ingin wabah ini selesai tidak ada jalan lain yakni dengan mengganti sistem Kapitalisme dengan sistem Islam. Jika hari ini sistem tersebut belum hadir dalam kehidupan, maka PR kita untuk memperjuangkannya.
Post a Comment