RKUHP dan Resistensi Kritik

 

Oleh: Nuraminah, S.K.M

Sebuah draf  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) beredar di publik. Ada pasal-pasal yang dianggap bermasalah, dan beberapa yang lainnya konyol. Kita tengok dua yang paling disoroti karena mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Beberapa pasal bermasalah, di antaranya adalah pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal penghinaan lembaga negara dan kekuasaan umum. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masuk dalam klasifikasi itu.

Pemidanaan terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden diatur pada Bagian Kesatu, tepatnya pada BAB II TINDAK PIDANA TERHADAP MARTABAT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN. Poin-poin substansial dalam bagian ini ada pada Pasal 217, 218, 219, dan Pasal 220 ayat 1.

Pada Pasal 217 tertulis, "Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun."

Pasal 218 (1) berisi, "Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV."

Ayat (2) Pasal 218 menjelaskan, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Selanjutnya, pada Pasal 219 tertulis: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Ancaman hukuman penjara naik satu tahun apabila dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik lainnya. Lalu apakah kritik ke pemerintah termasuk delik pidana? Dalam penjelasan RUU KUHP, hal itu dinyatakan tegas bukan delik pidana.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut, "Ini aneh banget sih." Bagi Asfinawati, pasal-pasal di atas adalah cerminan dari sikap anti kritik para penguasa, baik pemerintah ataupun DPR. Asfinawati mengingatkan bahwa sikap itu tak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Demokrasi pun matilah sudah.

"Ini menunjukkan DPR dan pemerintah anti kritik dan tidak sesuai dengan UUD 1945. DPR adalah lembaga negara, maka artinya suara publik adalah kritik. Lembaga publik kalau enggak boleh dikritik artinya bukan demokrasi lagi." (CNN.08/06/2021

Hak kebebasan berpendapat setiap orang terancam tercekik. Tak ada tawaran masuk akal lain demi menjaga pelaksanaan amanat UUD dan merawat demokrasi kecuali menghapus pasal-pasal tersebut.

"Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah," demikian bunyi penjelasan draf RUU KUHP (detikcom, 6/6/2021).

Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ketua Bidang Hukum DPP KNPI Medya Rischa Lubis mengatakan bahwa perkembangan di era digitalisasi ini, ketentuan pidana penghinaan dalam UU ITE seringkali membuat gaduh di kalangan masyarakat karena dianggap seperti pasal karet yang banyak disalahgunakan untuk membedakan hinaan dan kritik.

Jadi jelas disini RKUHP pasal 218 dan 220 hanya sebagai alat bagi pemerintah untuk membungkam kritik dari masyarakat terhadap kebijakan yang telah dibuatnya.Karena sebenarnya UU ITE yang mengatur pidana penghinaan melalui media sosial sudah ada yaitu dalam pasal 27 UU ITE jadi buat apalagi membuat RKUHP terkait masalah itu.Padahal  UU  ITE pasal 27 ayat 3 tersebut  juga potensial  dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam suara-suara kritis.

Di dalam Islam  Mengoreksi Penguasa adalah sebuah kewajiban.Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadist dari Tamim al radhiyaLlâhu ’anhu, bahwa Nabi Muhammad shallaLlâhu ’alayhi wa salam bersabda:
«الدِّينُ النَّصِيحَةُ»
“Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw. bersabda:
«لِلّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَتِهِمْ»
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)

Dan Rasulullah saw. pun secara khusus juga memuji aktivitas mengoreksi penguasa dzalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:

«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang dzalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)

«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa dzalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa dzalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).

Lantas bagaimana Islam  memandang ketika mengoreksi penguasa dilakukan di muka umum atau bisa dianalogikan saat ini lewat media sosial ataukah harus secara sembunyi-sembunyi atau hanya empat mata?

Sebenarnya mengoreksi penguasa sebagai bagian kewajiban  muslim untuk melakukan  amar makruf  nahi  mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafunâ al-shâlih. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). 

Menurut mereka, seorang Muslim dilarang  menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat batil, dan bertentangan dengan realitas. 

Perilaku Rasulullah saw. dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw. tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa.

Rasulullah saw. berkata: ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau shallaLlâhu ’alayhi wa sallam pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah Swt, beliau bersabda,”Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku.

Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya.

Wallahua'lambishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post