Pajak, Sepotong Warisan Penjajah yang Dipelihara



 Oleh  Sitti  Hadijah 
 (Pendidik dan Pegiat Literasi) 

Wacana pajak kembali meresahkan  sebagian besar rakyat Indonesia.  Bagaimana tidak, sembako dan  pendidikan yang tadinya bebas dari  pajak, kini dicanangkan akan dijadikan sebagai objek pajak. Rencana pengenaan PPN  terhadap sembako  tersebut  akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU. Dalam draf aturan tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil  pertambangan atau pengeboran  dihapus  dalam  kelompok  jenis  barang  yang  tidak  dikenai  PPN.

Selain itu, pemerintah juga  menambah  objek jasa kena pajak baru yang  sebelumnya dikecualikan atas  pemungutan PPN. Beberapa di  antaranya adalah jasa pelayanan  kesehatan medis, jasa pelayanan  sosial, jasa pengiriman surat dengan  perangko, jasa keuangan, hingga  jasa  asuransi  l(cnnindonesia, 14/06/21). 

Ketua MPR  RI, Bambang Soesatyo  menilai rencana kebijakan  tersebut  bertentangan dengan sila ke-5  Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi  Seluruh Rakyat Indonesia dan sektor  sembako juga sangat berkaitan  dengan naik turunnya inflasi.  Menurutnya, masih banyak peluang  yang bisa digarap dengan  memaksimalkan potensi pajak yang  sudah ada. Dia menjelaskan draf RUU  KUP dikirimkan kepada DPR namun  belum  dibahas sehingga  sangat  disesalkan  munculnya  kegaduhan  mengenai isu pengenaan PPN untuk  sembako (antaranews, 13/06/21). 

Pajak merupakan salah satu sumber  pendapatan negara terbesar dalam  sistem kapitalisme. Pembangunan  yang  dilakukan dalam negara  yang  menganut sistem kapitalisme  umumnya berasal dari pajak yang  dikenakan pada rakyatnya.Jika telusuri secara lebih jauh, akan kita dapati bahwa pajak yang saat ini menjadi 'tulang  punggung' dalam sistem kapitalisme merupakan salah satu warisan penjajah ketika menjajah  Indonesia. 

Miris memang ketika menyatakan negeri ini telah merdeka dari penjajah, namun sistem pajaknya masih digunakan hingga saat ini. Adanya wacana penambahan objek  pajak menjadi kabar buruk lain bagi  masyarakat.Tanpa  penambahan  objek pajak saja, masyarakat sudah  cukup dibuat sengsara dengan kondisi  ekonomi yang memprihatinkan di  tengah pandemi yang sedang terjadi.  Sementara itu, pajak untuk barang  mewah seperti mobil justru dihapuskan  per 1 Maret 2021 (kompas.com, 12/02/21).   

Perubahan pengenaan pajak untuk  beberapa barang-barang ini (barang  mewah, sembako, dan pendidikan)  diklaim agar pendapatan negara  dapat bertambah dan ekonomi  nasional membaik.Jika dilihat, logika  yang dibangun pemerintah dalam  mengatasi masalah perekonomian  sangatlah zalim terhadap rakyat.  Sembako yang merupakan  barang  primer yang  mau tidak mau pasti  dibeli oleh masyarakat akan  dikenai  PPN yang jumlahnya lebih tinggi  dari  tarif  PPN  sebelumnya, yakni dari 10%  menjadi 12%. Begitupun dengan  pendidikan yang notabene dibutuhkan  oleh semua anak. 

Di sisi lain, barang mewah seperti mobil yang merupakan barang yang tidak begitu dibutuhkan masyarakat  justru difasilitasi dalam  kepemilikannya. Melalui hal ini terlihat  bahwa pemerintah nampaknya benar - benar  'mengeksploitasi' kebutuhan  dan keinginan rakyatnya dalam rangka menggenjot pendapatan negara. 

Dalam sistem Islam, instrumen pajak  hanya digunakan sebagai pilihan  paling akhir saat terjadi kekosongan  pada baitul maal. Pajak juga bersifat  instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam  menetapkannya ketika dana tidak ada  di baitul maal.Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap,  bergantung kebutuhan yang  dibenarkan oleh syara' untuk mengambilnya dan sampai kewajiban  dan pos tersebut  bisa dibiayai, atau  baitul maal mempunyai dana untuk  mengcovernya.

Selain itu,  meski beban tersebut  menjadi kewajiban kaum Muslim,  tetapi tidak semua kaumMuslim  menjadi  wajib pajak, apalagi  non-Muslim. Pajak hanya diambil dari  kaum Muslim yang mampu. Dari  kelebihan, setelah dikurangi  kebutuhan  pokok dan sekundernya yang  proporsional (ma'ruf), sesuai dengan  standar hidup mereka di wilayah  tersebut. Jika tidak mempunyai  kelebihan, maka dia tidak menjadi  wajib pajak, dan pajak tidak akan  diambil darinya. Pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan,  bukan menghalangi orang  kaya,  atau  menambah pendapatan negara,  kecuali diambil  semata untuk  membiayai kebutuhan yang ditetapkan  oleh syara'. 

Negara khilafah juga tidak  akan  menetapkan  pajak tidak langsung, termasuk pajak  pertambahan nilai, pajak barang  mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain. Dari perbandingan pengenaan pajak  pada kedua sistem tersebut, dapat  kita  lihat bahwa sistem Islam lah satu-satunya yang dapat memberikan jalan keluar bagi masalah ekonomi  bahkan  setingkat  negara tanpa perlu 'memeras' dan menzalimi rakyatnya.   Wallahu'alam

Post a Comment

Previous Post Next Post