Overacting! Rezim Kembali Tunjukkan Bobroknya Sistem Peradilan Sekuler Kapitalis

Oleh: Yosi Eka Purwanti, S.E 
(Aktivis Muslimah)

Ulama Habib Rizieq Shihab kembali menjadi bulan-bulanan rezim. Lantaran dianggap telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran terkait kasus hasil swab di RS ummi, HRS dinyatakan bersalah dan mendapatkan vonis 4 tahun penjara. Pentolan FPI tersebut dianggap melanggar dakwaan primer, pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Terkait putusan atas kasus ini hakim memberikan beberapa opsi bagi HRS. Pertama, sesuai pasal 196 KUHP, terdakwa memiliki hak menerima atau menolak putusan saat ini juga yaitu mengajukan banding. Kedua, hak untuk berpikir selama 7 hari menentukan sikap. Ketiga, mengajukan pengajuan permohonan kepada presiden dalam hal menerima putusan yang disebut grasi. Namun dengan tegas HRS menolak putusan tersebut dengan mengajukan banding, tak lama setelah putusan di jatuhkan. Menurutnya ada dua alasan pengajuan banding. “Pertama bahwa saksi ahli forensik tidak pernah hadir di persidangan, kedua hasil putusan tidak lagi menggunakan hasil otentik, dan masih banyak lagi, "Imbuhnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon pun buka suara. Vonis atas kasus HRS ini menurutnya tidak adil dibandingkan dengan vonis perkara pidana lain dengan tuntutan yang sama. “Vonis 4 tahun sungguh menggelikan menurut saya, sangat berlebihan dan apa yang di jatuhkan kepada habib rizieq hanya gara-gara kasus hasil swab.” Kata fadlI (detiknews.com)

Menurut fadli jika nantinya PT DKI Jakarta tidak memberikan keadilan kepada habib rizieq, akan berdampak terciptanya situasi dan kondisi ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Hukum sudah dianggap menjadi subordinasi politik atau kepentingan politik sehingga akan sesuai dengan selera penguasa. Fadli juga menambahkan bahwa hukum saat ini bukan menjadi alat untuk mencari kebenaran melainkan untuk meligitimasi kebenaran atau keadilan bagi kekuasaan. Menurutnya pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946 merupakan pasal warisan kolonial Belanda sehingga harusnya tidak digunakan karena berbeda konteks.

Senada dengan fadli zon, koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma menilai pengadilan dan vonis yang dijatuhkan terhadap Habib Rizieq lebih bersifat politis ketimbang dilandasi upaya menegakkan hukum berdasarkan keadilan dan kebenaran. Atas kasus HRS ini, rakyat kembali di pertontonkan kebobrokan sistem peradilan sekuler kapitalistik. Alih-alih memberikan keadilan, nyatanya sistem peradilan saat ini hanya mengikuti kepentingan penguasa. Menghukum oknum yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim. Dakwaanpun seolah dibuat-buat agar rakyat yang berani mengkritik penguasa secara terang-terangan menjadi jerah. Kondisi ini kembali menunjukkan bahwa rezim saat ini adalah rezim yang anti kritik.

Dalam sistem sekuler kapitalis saat ini, meniscayakan hukum karet yang bisa dengan mudah ditarik ulur sesuai kepentingan penguasa. Dan digunakan hanya untuk melanggengkan dominasi sistem kapitalis sekuler buatan manusia. Berbeda dengan Islam, peradilan dalam Islam sumber hukum tertinggi adalah dari Al-Quran dan As-Sunnah. Serta sumber hukum yang lain adalah ijma’ dan Qiyas. Oleh karena hukum Islam adalah hukum yang berasal dari al-khaliq maka hukum tersebut akan sesuai dengan fitrah manusia ketika di terapkan.

Dalam sistem peradilan Islam, qadli (hakim) adalah orang yang memiliki kredibitas serta memiliki dasar keimanan yang kuat sehingga tidak mudah mengikuti kepentingan yang tidak sesuai syara’. Karena qadli memiliki pertanggung jawaban yang besar tidak hanya di hadapan manusia tapi juga di hadapan Allah dalam peradilan akhirat. Sebagaimana sabda Nabi SAW “Qadhi (penentu keputusan) itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga adalah Qadhi yang tahu kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya. Sedang Qadhi yang tahu kebenaran lalu zhalim dalam keputusannya, maka ia di neraka. Begitu pula, Qadhi yang memberi keputusan tanpa ilmu, ia di neraka.”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, di-shahih-kan oleh Al Albani).

Dalam islam, kasus yang diperkarakan merupakan kasus pelanggaran hukum syara. Dimana dalam kasus tersebut juga harus terdapat saksi yang memenuhi syarat-syarat tertentu diantaranya adil, baliqh, berakal, berbicara, hafal dan cermat, bersih dari tuduhan. Dalam mahkamah peradilan semua bukti diajukan dan dibuktikan baik saksi, sumpah maupun dokumen hakim akan membuat putusan sesuai bukti yang ditujukan dan ditunjukkan di mahkamah peradilan.

Sistem peradilan Islam bukanlah sistem otoriter yang menutup masyarakat untuk mengkritik dan mengevaluasi penguasa beserta jajarannya. Justru dalam sistem islam kontrol dari masyarakat sangat difasilitasi dengan adil melalui mekanisme majelis ummat. Demikian keindahan sistem Islam dalam menciptakan keadilan. Keindahan sistem itu hanya bisa diraih dalam naungan Daulah Khilafah Islam. WaAllahu a’laam.

Post a Comment

Previous Post Next Post