(wiraswasta dan pengembangan dakwah)
Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan untuk meniadakan salat Idul Adha 1442 H di masjid maupun di lapangan terbuka yang dapat menimbulkan kerumunan pada zona yang diberlakukan PPKM Darurat.
Hal ini disampaikan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas usai menggelar rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Polri, Kementerian Ketenagakerjaan, Dewan Masjid Indonesia (DMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), Detik New, Jumat (2/7/2021).
Di samping itu, pihaknya juga melarang aktivitas takbiran menyambut Idul Adha 1442 H. Takbiran hanya diperkenankan dilakukan di rumah masih-masing.
"Takbiran kita larang di zona PPKM Darurat, dilarang ada takbiran keliling, (serta) arak-arakan. Itu baik jalan kaki maupun kendaraan, di dalam masjid juga ditiadakan. Takbiran di rumah masing-masing," ucap Yaqut.
Pertanyaan terkait pelaksanaan Idul Adha 2021 di tengah PPKM Darurat ini pun membuat Ketua Majelis Ulama Indonesia ((MUI) Cholil Nafis, buka suara lewat akun Twitter pribadinya, @cholilnafis.
Pikiran Rakyat, Pangandaran.com, Minggu (4/7/2022).
Bisa jadi masyarakat banyak mempertanyakan, mengapa yang ditutup harus masjid, padahal jumlah kehadiran jama'ah di masjid lebih terbatas dan waktunya pun hanya beberapa menit saja? Sementara tempat-tempat semacam pasar, mal, resto, dan tempat wisata, justru lebih sulit dikendalikan dan peluang terjadinya pelanggaran prokes justru lebih besar.
Hal ini sangatlah disayangkan, notabene Indonesia merupakan mayoritas penduduknya beragama muslim. Bagi umat Islam, merayakan Idul Adha termasuk Syiar-syiar Allah yang wajib ditegakkan baik itu oleh individu maupun oleh negara. Oleh karena itu menjadi sangat politis sehingga negara akan berhati-hati untuk memastikan penyelenggaraannya sehingga tidak menemui hambatan yang berarti.
Keputusan kementerian agama ini bisa menjadi jalan proyek moderasi Islam. Begitu istimewanya proyek moderasi beragama, khususnya moderasi Islam bagi pemerintah sekarang. Proyek ini terus digadang-gadang bisa menjadi solusi problem utama bangsa, bahkan dipandang amat penting bagi kemajuan Islam dan juga dunia secara keseluruhan.
Moderasi beragama tentu tak bisa dianggap biasa-biasa. Selain ada sisi politis yakni kepentingan melanggengkan penjajahan, narasi ini pun nyatanya telah menyasar hal-hal yang sangat prinsip dalam Islam.
Penanaman nilai-nilai toleransi berbasis paham sekularisme, pluralisme, dan relativisme atas nama moderasi misalnya, jelas-jelas telah membuat ajaran Islam terkebiri dari jati dirinya yang asli, yakni sebagai petunjuk dan solusi problem hidup, bukan hanya untuk umat Islam sendiri, tapi umat manusia secara keseluruhan.
Terlebih, moderasi Islam pun sering disebut-sebut ingin mengembalikan jati diri Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Tapi nyatanya, moderasi telah menjadikan Islam sebagai agama yang kehilangan power untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam itu sendiri. Karena sejatinya, kerahmatan itu justru akan terwujud saat syariat Islam diterapkan secara sempurna, bukan malah dimandulkan!
Bukankah Allah Swt. telah menegaskan dengan firman-Nya,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya : 107)
Jelas sekali, kerahmatan terkait dengan adanya risalah Nabi Muhammad saw. Sedangkan risalah Islam, adalah seluruh ajaran yang dibawanya, yakni seluruh isi Al-Qur’an dan seluruh sunah beliau saw. Yakni, seluruh perbuatannya, perkataannya, maupun legitimasinya atas perbuatan sahabat yang dilakukan atas sepengetahuannya, mulai dari urusan bangun tidur, hingga urusan bangun negara, dan hubungan mancanegara.
Kemudian semua ajaran itu diterapkan oleh para sahabat sepeninggalnya, dan terus dilanjutkan generasi-generasi terbaik setelahnya. Hingga Islam benar-benar mewujud dalam kehidupan, dan masyarakat Islam pun tampil sebagai entitas yang memiliki berbagai keistimewaan tersebab syariat Allah yang ditegakkan secara keseluruhan.
Hal ini terus berjalan dari masa ke masa, dan dengan segala kebaikannya, Islam menyebar ke seluruh alam. Hingga ada saat di mana musuh-musuh peradaban Islam melakukan berbagai rekayasa serangan pemikiran, dan akhirnya Islam politik mulai lemah dipahami umat Islam. Bahkan di 14 abad setelahnya, yakni di tahun 1924, umat Islam kehilangan institusi politiknya yakni Khilafah Islamiyah.
Justru setelah itulah kehidupan umat Islam dikuasai kegelapan. Sistem sekuler kapitalis neoliberal mulai mencengkeram kehidupan umat Islam lebih dalam, hingga segala yang mereka miliki lambat laun hilang. Nyawa, harta kekayaan, kehormatan, dan kemuliaan raib di tangan kafir penjajah.
Kaum kafir ini terus berusaha memastikan, agar umat tetap dalam kondisi demikian. Sehingga tatkala ada suara-suara kebangkitan dan dakwah politik yang membuat umat menengok kembali ajarannya yang hakiki, kaum kafir dan anteknya bersegera membuat perlawanan.
Mereka tak ingin umat ini menemukan jati diri Islam. Mereka jauhkan umat dari pemahaman Islam yang benar. Mereka rekayasa Islam agar sesuai nilai-nilai Barat dan ramah terhadapnya. Mereka sibukkan umat dan penguasanya dengan berbagai proyek yang menutup agenda liberalisasi dan penjajahan.
Umat dipaksa berpikir dengan kacamata mereka. Hingga lemah dalam membaca akar masalah, apalagi berpikir tentang solusinya. Bahkan, umat digiring memusuhi sesamanya dan meminta obat penawar masalah pada musuh yang justru menjadi penyebabnya.
Maka, hingga kapan umat dibodoh-bodohi sedemikian parah? Padahal, semua kunci-kunci kebaikan dan jalan keluar masalah hidup ada pada agama mereka! Yakni Islam ideologi yang begitu sempurna.
Semoga umat segera sadar, bahwa kemuliaan mereka sejatinya hanya ada pada Islam. Meski tantangan dakwah makin berat, namun semoga para pengemban dakwahnya diberi kesabaran dan keistikamahan. Dan semoga pula semua perjuangan ini akan berujung pada kemenangan.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR Muslim no. 145).
Wallahu 'alam.
Post a Comment