Meneladani Para Khalifah dan Ulama dalam Penegakan Hukum

BY  : Yuli Ùmmu Raihan
Aktivis Muslimah

Pinangki Sirna Malasari seorang Jaksa di kejaksaan RI mendapat diskon hukuman atas kesalahannya yang telah terbukti melakukan suap sebanyak USD 450 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung. Dia juga terbukti melakukan tindakan pidana pencucian uang (TPPU) dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi. 

Pinangki didakwa telah melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pinangki juga melanggar Pasal 15 junto Pasal 13 UU Tipikor. Tak hanya itu, ia juga melanggar Pasal 3 UU Nomor Tahun 2021 tentang Pencegahan dan TPPU. 

Diskon hukuman ini menuai kecaman dari publik. Lima hakim tinggi di antaranya Muhammad Yusuf, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lalat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik bersepakat memberi diskon hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun terkait perkara dugaan tindak pidana siap atau gratifikasi dan buronan Djoko Tjandra dan tindak pidana pemufakatan jahat. (detik.com, 20/6/2021).

Alasan pemberian diskon hukuman ini karena Pinangki telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, ikhlas dipecat, dan harus mengasuh anaknya yang berusia 4 tahun. Sebagai wanita ia juga harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. 

Jelas diskon hukuman ini menuai banyak komentar dari berbagai pihak. Keputusan ini dinilai tidak adil, mengingat ini bukan kasus pertamanya. Hukuman yang diberikan tidak memberikan efek jera. 

Lemahnya rasa keadilan di negeri ini karena sistem yang diterapkan saat ini memberi peluang semua ini terjadi. Sekularisme membuat aparat penegak hukum tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Hukum diutak-atik sesuai hawa nafsu manusia. Kita menyadari kalau manusia itu lemah dan terbatas. Maka wajar hukum yang dihasilkan pun pasti mengandung banyak kelemahan. 

Banyaknya ketidakadilan yang terjadi membuat masyarakat apatis dengan lembaga peradilan. Masyarakat tidak lagi percaya pada institusi pengadilan, termasuk kepada penguasa karena tidak memberi teladan yang baik. 

Berbeda dalam sistem Islam yang para pemimpinnya memberi teladan baik dalam penegakan hukum. 
Sebenarnya secara normatif baik dalam sistem Islam atau sekuler semua tindakan pelanggaran hukum seperti korupsi, suap, penyalahgunaan jabatan itu terlarang. Tapi Islam adalah sistem yang menjaga agar larangan ini disadari dan dipatuhi semua orang. 

Para pemimpin Islam telah mempraktikkannya dan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Siapa yang tidak kenal Muadz bin Jabal ra. dia memiliki keimanan yang tinggi, tapi Rasulullah saw. tetap menasehatinya saat diutus ke Yaman.

Rasulullah mengutus seseorang untuk memanggil ia kembali dan bersabda: "Tahukah kamu mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin dariku karena itu adalah ghulul (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulul, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu. Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu."

Rasulullah sebagai khalifah memberi teladan agar penanaman akidah, keimanan yang kuat, bimbingan, pengawasan, pemilihan pejabat yang profesional dan amanah itu sangat penting. Para pejabat negaranya pun memiliki kesadaran penuh akan konsekuensi sebuah amanah. 

Rasulullah saw. dalam kehidupan sehari-hari sederhana meskipun beliau orang nomor satu yang memegang kendali negara termasuk harta. Bahkan beliau tidur beralas selembar tikar yang kasar sehingga meninggalkan bekas di tubuhnya. Beliau menolak saat ditawari kasur empuk oleh Ibnu Mas'ud ra. dengan mengatakan tidak ada urusan kecintaannya dengan dunia. Hidup di dunia ini seperti seorang pengendara yang berhenti sejenak di bawah pohon untuk istirahat untuk pergi kembali. 

Khalifah Abu Bakar ra. juga memberi teladan dengan hanya mengambil sekadarnya saja harta dari baitul mal untuk memenuhi hidupnya dan keluargnya sehari-hari. Beliau bahkan berwasiat agar mengembalikan kelebihan harta yang dimilikinya jika berlebih sejak ia menjadi khalifah. Setelah diaudit hartanya hanya bertambah seekor unta untuk menyirami kebun, seorang budak, dan selimut beludru seharga lima dirham. Semua ini diserahkan pada Khalifah Umar dan membuat beliau menangis haru karena merasa sulit meneladani Abu Bakar. 

Khalifah Umar bin Khattab ra. beliau menolak memanfatkan lampu yang dibeli dengan uang negara untuk berbincang dengan anaknya dalam urusan pribadi. Umar juga pernah menegur anaknya yang memakan daging saat kondisi negara sulit. Beliau sendiri juga hanya memakan satu jenis lauk karena masyarakat membicarakannya yang suka mengumpulkan dua lauk dalam satu hidangan. 

Selain menjaga diri mereka agar terhindar dari tindakan pelanggaran hukum para khalifah dahulu juga menjaga keluarga, kerabat, agar tidak memanfaatkan jabatan, memperkaya diri. Khalifah Umar ra. pernah menyuruh anaknya menjual untanya yang gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Hasil penjualan dikurangi pokok membeli unta dikembalikan pada baitul mal. Umar juga selalu mengawasi para walinya, dan mengaudit kekayaan mereka. Jika terbukti terjadi penyelewengan harta negara, maka akan dihukum ta'zir, hartanya disita, dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati tergantung efek kerusakan yang ditimbulkan. 

Jika saat ini budaya nepotisme kental terjadi, di mana keluarga atau kerabat penguasa sangat mudah mendapat  jabatan atau posisi strategis, maka dalam Islam tindakan ini tidak akan terjadi. Jabatan hanya akan diberikan kepada mereka yang memiliki kemampuan, memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Islam, atau yang dipercaya oleh khalifah. Tapi kepercayaan ini semata karena mereka akan bekerja sama dalam mengurusi rakyat. 

Khalifah Ali ra. bahkan menolak saudaranya Aqil ibn Abi Thalib supaya diberi prioritas dalam mendapat harta negara meskipun ia sangat berhak karena kondisinya yang miskin. Khalifah Ali memposisikan semua orang sama, baik keluarga, kolega, tidak ada keistimewaan. 

Kalaupun ada khalifah yang memberi sejumlah harta pada kerabatnya seperti Usman ra. Itu berasal dari harta pribadinya. Kerabatnya juga sudah banyak yang menjadi pejabat jauh sebelum ia menjadi khalifah. 

Bagi seorang pemimpin kekuasaan itu adalah amanah. Mereka akan berusaha meriayah dengan baik, memperlakukan rakyatnya dengan adil. Mereka juga senantiasa menerima kritik dan saran dari berbagai pihak terutama ulama. 

Iman Al-Ghazali pernah berkata bahwa salah satu faktor kerusakan masyarakat adalah rusaknya penguasa. Kerusakan penguasa karena rusaknya ulama. Ulama rusak karena mereka cinta dunia, lidah mereka kelu menyampaikan kebenaran apalagi kepada penguasa. 

Penguasa yang baik akan senantiasa mendatangi ulama untuk meminta nasehat. Bukan seperti sekarang ulama yang mendatangi penguasa lalu mengeluarkan fatwa sesuai kehendak penguasa. 

Khalifah Harun ar-Rasyid bahkan sampai menangis karena nasehat yang sangat membekas dari Imam al- Fudhail bin 'Iyadh. Meski sang ulama sedang mengalami kesulitan ekonomi ia menolak saat dihadiahi 1000 dinar oleh Khalifah Harun ar Rasyid. 

Ulama dalam sistem Islam tidak akan segan-segan mengoreksi ketika ada tindakan khalifah yang keliru. Seperti yang dilakukan oleh Ulama Abu Muslim Al-Khawlani saat menegur Muawiyah yang sedang di atas mimbar karena menghentikan bantuan kepada kaum muslim.

Rasulullah sangat tegas dalam penegakan hukum kepada semua orang. Dulu pernah ada wanita dari bani Makhzum mencuri, kasusnya terekspos ke publik. Kaumnya merasa ini aib, dan mencoba mencari cara untuk melobi Rasulullah saw. agar kasusnya dihentikan. Diutuslah Usamah bin Zaid yang sangat disayangi Rasul berharap Rasulullah luluh. Namun kenyataannya beliau sangat marah hingga mukanya merah padam.

Beliau bersabda: "Sesungguhnya yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah sifat tercela mereka. Apabila ada orang terpandang mencuri makan dibiarkan. Sementara jika pelakunya orang biasa yang lemah, maka hukum ditegakkan atas mereka. Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR. Bukhari Muslim). 

Semoga para pejabat kita, ulama, dan masyarakat kita bisa bersinergi agar keadilan hukum di negeri ini dapat ditegakkan. Mereka yang salah dihukum sesuai perbuatannya dengan hukuman yang dapat memberi efek jera dan menebus dosa mereka. Semua itu hanya akan dapat terwujud jika kita mau menerapkan aturan Islam secara sempurna dalam sebuah institusi negara. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post