Keadilan hukum adalah salah satu indikator dari majunya sebuah peradaban. Bahkan bisa dikatakan bahwa keadilan hukum adalah simbol dari majunya peradaban itu sendiri. Semakin maju peradaban manusia maka hukum akan memuliakan manusia. Sedangkan, semakin mundur peradaban manusia maka hukum akan mengabaikan manusia itu sendiri.
Hukum dihadirkan ditengah-tengah kehidupan untuk menjadi penyelesai problematika umat. Tentunya dengan benar dan adil. Bahkan ia diharapkan dapat menghilangkan problematika yang ada agar usai dan tak sampai menyebar luas. Akan tetapi ketika hukum diambil alih oleh akal manusia, kita lihat betapa kedzaliman dan ketidakadilan terpampang nyata di depan mata.
Dari dua kasus diatas kita dapat menelaah penegakan hukum dalam negara ini. Bahwa penegak hukum maupun sistem hukum yang diberlakukan adalah buruk. Alhasil, produk hukumnyapun menjadi buruk dan mencederai rasa keadilan untuk semua manusia.
Seorang ulama yang dikenal cukup kritis divonis empat tahun penjara dengan kasus pelanggaran prokes yang bisa dianggap kasus lebih rendah dari kasus Mega korupsi yang pelakunya masih banyak berkeliaran. Lantas dimanakah rasionalitasnya hukum tersebut? Bagaimana yang masuk dinalar bahwa pelanggaran prokes harusnya bisa ditindak dengan mediasi, dialog atau bahkan edukasi, malah mendapat hukuman empat tahun penjara. Dilain sisi para koruptor, pemalak rakyat masih tersenyum di tengah kebebasannya. Menampakkan deretan gigi putih untuk tertawa karena dapat menyuap dengan harta dan tahta. Maka tak asing lagi jargon yang sering kita dengar. Yakni KUHP (Kasih Uang Habis perkara) atau (Kurang Uang Hukum Penjara) cukup laris diucapkan. Karena memang saat ini hukum dapat dibeli dengan jabatan dan kekayaan.
Dua kasus diatas hanyalah sekilas drama yang terpentaskan. Masih banyak ketidakadilan yang tampak maupun tak tampak di layar lebar. Kita bisa mengevaluasi sendiri bagaimana hukum peradilan yang dibuat oleh manusia dengan hukum peradilan dari Allah dalam Islam. Allah menciptakan manusia lengkap beserta peraturan yang harus dijalankan. Ketika kita sebagai manusia abai, maka tinggal menunggu kehancurannya saja.
Seorang hakim memiliki tanggung jawab yang sangat besar karena selain bertanggung jawab pada sesama manusia ia juga akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Maka dari itu seorang hakim juga harus memahami syariat islam untuk dijadikan sandaran dan standar dalam memutuskan masalah.
“Hakim-hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga : Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu dia memutuskan hukum dengan kebenaran, maka dia di surga; Seseorang (hakim) yang memutuskan hukum dengan kebodohan, maka dia di neraka; Dan seorang (hakim) yang menyimpang didalam keputusan, maka dia di neraka.” (HR Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Abu Dawud).
Karena kelak di akhirat tak ada penjara, maka hukumannya adalah neraka. Jadi menjadi seorang hakim adalah pekerjaan yang berat. Dan seorang hakim harus menguasai syariat islam,fiqih islam dan memahami realitas. Karena kebenaran dalam islam disandarkan pada hukum Allah yang identik dengan kebenaran. Bukan dengan hawa nafsu dan kepentingan pribadi saja.
Konsep yang sangat berbeda dengan sistem hukum yang diterapkan saat ini. Hakim bisa memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya atau kepentingan orang-orang yang ada di belakangnya. Bahkan bisa pula hakim mencari-cari pertimbangan untuk memberatkan atau meringankan vonis seorang terdakwa setelah keputusan hukum dibuat. Wajarlah jika hal ini terjadi, sistem hukum di negeri ini takkan bisa membawa keadilan bagi semua orang.
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59).
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Al Maidah: 49)
Hukum yang berasal dari Allah sudah pasti adil, sebab Allahlah yang mengetahui hakikat manusia. Karenanya hukum yang diberikan Allah untuk manusia adalah hukum yang sesuai bagi setiap manusia, siapapun dia. Baik muslim ataupun kafir, laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Dan hukum Allah ini pasti bisa diterima secara logis oleh akal manusia. Manusia yang tidak bisa menerima hukum Allah hanyalah orang-orang yang senantiasa memuja hawa nafsunya. Mereka adalah orang-orang yang berada di kubu syetan yang memiliki karakter sombong dan selalu menentang perintah Allah swt. Bahkan dengan tegas Allah menafi’kan keimanan mereka saat mereka tidak lagi mau berhukum dengan hukum Allah swt. Allah berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa: 65)
Apakah sistem saat ini sudah mengambil hukum sesuai pencipta manusia? Jelas, tidak. Jadi tak heran jika hukum saat ini tak adil. Maka dari itu, peradilan yang adil hanya bisa didapat saat sistem islam diterapkan. Dan pengadilan teradil adalah pengadilan di akhirat. Karena Hakimnya adalah hakim yang paling adil serta tak dapat disuap. Siapakah ia? Allahu azzawaja'lah Sang pencipta skenario kehidupan beserta penyelesai semua masalah dalam kehidupan. Wallahualam bissowab
Post a Comment