Adanya pandangan sekuler semacam ini mengacu pada teori Freudisme, teori dimana libido/seksual adalah mesin penggerak utama bagi kehidupan. Tanpa adanya hal-hal berbau seksualitas maka kehidupan akan berjalan lesu, terasa hambar tanpa gairah. Hingga akhirnya kreatifitas untuk berkarya secara maksimal pun musnah. Masyarakat yang mendewa-dewakan teori ini menganggap segala sesuatu yang beraroma seksual (tercakup di dalamnya pornografi dan pornoaksi) bukan saja diperbolehkan adanya, tetapi bahkan menjadi suatu hal yang niscaya. Maka tak pelak, Seks bebas (free sex), salah satu bentuknya, lantas menggejala sebagai suatu budaya yang dilegalkan. Terutama menginspirasi para pelaku bisnis untuk meraup keuntungan.
Semisal sex education atau pendidikan sex yang digagas oleh perusahaan Fiesta Condoms, alih-alih memberikan edukasi agar remaja tak terjerumus sex bebas justru mendorong masyarakat agar melakukan sex dengan aman, yakni memakai kondom sebagai pencegah kehamilan, mengurangi resiko penularan penyakit IMS, dan mengurangi resiko penyebaran HIV AIDS. Tentu pendidikan seks semacam ini salah kaprah. Pendidikan seks semacam ini hanyalah kedok dari perilaku liberalisasi yang membenarkan dan mendorong freesex. Lebih miris lagi, jika kata pendidikan seks kita ketik dalam pencarian google, justru yang keluar adalah video porno dan gambar porno. Tentu kondisi ini mengkhawatirkan, baik bagi masa depan generasi maupun kekhawatiran di benak orang tua.
Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Eva Devita Harmoniati, Sp.A(K) dalam Instagram Live bersama IDAI mengatakan bahwa, peran orangtua menjadi sangat penting ketika membicarakan edukasi seks. Devita juga menyampaikan bahwa meskipun sebagian masyarakat masih salah memahami dan menganggap edukasi seks adalah edukasi tentang bagaimana berhubungan intim. “Sex education bukan bagaimana melakukan seks, tapi bagaimana mereka paham tentang fungsi-fungsi organ seksual mereka, kapan mempertanggungjawabkannya dan bagaimana mereka bertanggungjawab menggunakannya, Instagram (18/8/2020).
Pendidikan seks bisa diawali dengan mengenalkan alat kelamin dan fungsinya kepada anak, diusia 16-18 bulan orangtua dianjurkan untuk mengenalkan alat kelamin kepada anak sebagai salah satu anggota tubuh. Kemudian diusia 2-3 tahun anak bisa mulai dikenalkan dengan gender laki-laki dan perempuan, dan bagaimana keduanya memiliki perbedaan. Tahap selanjutnya mengenalkan mengenai batasan aurat, mana yang boleh atau tidak boleh disentuh orang lain, tata cara ibadah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta bagaimana tata pergaulan dalam Islam. Mengajarkan hal tersebut dengan baik dan benar kepada anak sejak dini bisa membantu anak untuk membentengi diri dari pergaulan yang salah. Apalagi dengan semakin transparannya berbagai informasi yang bisa diakses lewat internet, sangat memungkinkan bagi sebagian besar anak dan remaja memanfaatkannya sebagai media bantu dalam memenuhi rasa keingintahuannya mengenai seks.
Ketidakmampuan pendidikan sekolah dan keluarga dalam menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, gagal mencetak insan yang berakhlak dan beradab. Terciptalah generasi tak tahu malu dan tak faham batas aurat. Terbentuklah mode pakaian merangsang naluri karena minimnya kain. Hingga tercetak generasi yang tak faham batasan mana yang boleh atau tidak boleh disentuh orang lain, serta rusaknya tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Sebutan Generasi liberal yang labil pun membahana. Yakni, generasi yang Mendewakan nafsu dan kesenangan sesaat.
Lingkungan dan kehidupan yang bernilai liberalisme ini membawa kondisi memprihatinkan. Tontonan dan gambar porno bisa diakses dengan mudah baik lewat internet atau majalah panas. Lokalisasi pelacuran pun berdiri kokoh dan mudah didatangi kapan saja. Tayangan TV pun tak jauh dari romansa cinta antara muda mudi tanpa ikatan pernikahan. Aktivitas pacaran menjadi tren kekinian. Ditambah dengan munculnya lembaga LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) yang berlindung di balik nama HAM (hak asasi manusia).
Di dalam paradigma Islam, teori Freudisme adalah sampah busuk yang menyesatkan. Begitupun paham liberalisme adalah paham beracun yang menghancurkan tatanan kehidupan manusia. Dalam Islam, ada dua jenis kebutuhan dalam hidup manusia. pertama kebutuhan jasmani, kedua kebutuhan naluri. Kedua jenis kebutuhan ini memang perlu dipenuhi, tapi karakter keduanya berbeda. Kebutuhan jasmani akan muncul dengan sendirinya (faktor internal) dan jika tidak dipenuhi akan menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena itu, kebutuhan jasmani mutlak menuntut pemenuhan. Kebutuhan jasmani meliputi makan dan minum. Sedangkan kebutuhan naluri meliputi kebutuhan seksual. Kebutuhan ini tidak mutlak harus dipenuhi. Kebutuhan seksual tidak akan membuat seseorang mati ketika tidak terpenuhi. Tuntutan pemenuhan kebutuhan naluriah berupa dorongan seksual dapat dialihkan pada hal-hal lain yang bermanfaat bagi umat.
Sedangkan konten pornografi dan pornoaksi adalah sarana yang mampu memunculkan dorongan seksual ini. Karena itu, wajar jika banyak kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya disebabkan karena pelakunya sering menonton pornografi dan pornoaksi. Ini artinya, pornografi dan pornoaksi menjadi sarana bagi timbulnya perzinahan. Islam telah jelas melarang pornografi dan pornoaksi.
Membicarakan pornografi dan pornoaksi berarti mencakup pembahasan aurat, terutama aurat wanita yang selama ini menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Dalam Islam batasan aurat wanita sudah jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (Q.S. an-Nur [24]: 31). Jadi batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu, jika seorang wanita menampakkan bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya maka itu sudah termasuk perkara yang diharamkan dalam Islam kecuali jika diperlihatkan kepada mahramnya. Demikian juga dengan aurat laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar sampai lutut. Oleh karena itu, jika ada seorang laki-laki yang menampakkan anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut maka ia sudah melanggar syariat Islam. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad disebutkan: “Sesungguhnya apa yang ada dibawah pusar sampai kedua lutut laki-laki merupakan auratnya”.
Oleh karena itu, sebagai upaya meredam laju pornografi dan pornoaksi, harus ada tiga sektor yang memainkan peran penting di dalamnya. Pertama, peran individu yang bertakwa. Suatu aturan Allah akan bisa diterapkan oleh setiap individu yang bertakwa yang memiliki keimanan yang kokoh. Ketakwaan dan keimanan yang kokoh didapat dengan cara pembinaan yang intensif dalam rangka membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah) melalui penanaman tsaqafah islamiyyah (ilmu-ilmu keislaman) yang memadai, dengan menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya. Kedua, peran masyarakat. Para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan komponen-komponen lainnya yang ada di masyarakat hendaklah secara bersama-sama dan bersinergi mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, peran negara. Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab untuk memelihara akidah Islam dan melaksanakan hukum-hukum Allah secara sempurna di tengah-tengah kehidupan termasuk melaksanakan sistem pengaturan yang dapat menghilangkan segala hal berbau pornografi dan pornoaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Negara seharusnya proaktif melakukan pencegahan terhadap adanya bisnis pornografi dan pornoaksi tersebut.
Sitem Islam juga akan menjaga dengan sebaik-baiknya masyarakat agar terhindar dari hal-hal negatif. Sistem Islam akan menghilangkan secara total situs-situs yang berbau pornoaksi maupun pornografi, dan Islam sendiri secara tegas menyerukan masyarakat untuk menjauhi zina sebab tergolong perbuatan yang keji yang terdapat dalam (Q.S. al-Isra [17]: 32). Maka, sangat jelas dalam pandangan Islam pornografi dan pornoaksi tegas dilarang dengan alasan apapun. Waallahua’lam
Post a Comment