Menakar BPUM Tidak Tepat Sasaran dan Solusinya


Oleh: Yuanita Ayu Tanti (Aktivis Muslimah)


Di era pandemi yang belum menampakan kesudahan ini, muncullah berbagai problematika di tengah-tengah masyarakat. Salah satu kondisi yang paling nampak adalah problem ekonomi. Apalagi kondisi ekonomi rakyat kecil, sangat merasakan dampaknya. Banyak pengusaha yang tutup usahanya, karyawan di phk, hingga pedagang kaki lima yang tak laku jualannya, dan masih banyak lagi tentunya.

Pemerintah sendiri pun telah mengupayakan pemberian Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM). Masyarakat pun tentunya sangat antusias dengan program tersebut. Namun sangat disayangkan, dari segi penyaluran BPUM sendiri banyak mengalami kecacatan.

Dilansir dari tirto.id, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka penanganan dampak COVID-19 tidak tepat sasaran. Laporan Iktisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020 BPK mencatat Rp1,18 triliun terdistribusi untuk 414.590 penerima bermasalah.

Dalam hal penyaluran BPUM, ditemukan pula kasus penyaluran tidak tepat di bidang pendidikan. Diberitakan oleh media CNBC Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) belum memadai. Hal ini disebabkan karena data yang digunakan sebagai sumber pengusulan calon penerima tidak handal. Adapun data yang digunakan adalah data pokok pendidikan (dapodik). Sedangkan, Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk Kependudukan belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan. Hal ini mengakibatkan penyaluran bantuan untuk PIP belum tepat sasaran dan masih banyak anak yang seharusnya mendapatkan bantuan justru tidak menerima.

Sangat disayangkan memang, dimana seharusnya BPUM ini bisa tepat sasaran tapi malah gagal disalurkan. Kondisi ini jelas sangat merugikan negara, bahwa tidak mudah pemerintah memperoleh pemasukan untuk BPUM. Selain itu, merugikan rakyat kecil yang semakin susah, yang seharusnya mendapat bantuan tetapi bantuan malah mengalir pada orang orang yang sudah mampu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap fakta bahwa terdapat penerima bantuan produktif usaha mikro yang tidak sesuai dengan kriteria. Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp 1 triliun!

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (22/6/2021), disebutkan bahwa ada penerima BPUM yang tidak sesuai kriteria sebanyak 418.947.
Adapun rinciannya sebagai berikut :
- 56 penerima BPUM berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri
- 2.413 penerima BPUM dengan NIK yang sama menerima bantuan lebih dari satu kali.
- 29.060 penerima BPUM bukan usaha mikro
- 144.802 penerima BPUM yang sedang menerima kredit atau pinjaman perbankan lainnya
- 25.912 penerima BPUM sedang menerima kredit atau pinjaman KUR
- 207.771 penerima memiliki NIK yang tidak sesuai dengan database Dukcapil
- 8.933 penerima sudah meninggal dunia.

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa dana tidak tepat sasaran bukan hanya masalah teknis, tapi memang sudah menjadi penyakit bawaan dalam birokrasi demokrasi.

Kesalahan penyaluran ini sungguh fatal, rakyat yang seharusnya menerima bantuan harus menjadi korban. Inilah buruknya kinerja dan implementasi bantuan oleh rezim yang berkuasa saat ini. Tampak rezim saat ini kurang cakap dan kompeten dalam melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat. Tidak menutup kemungkinan bahwa data semrawut yang dimiliki pemerintah berpotensi menjadi celah terjadinya tindakan korupsi, sebab di dalam data yang salah ini ada penerima-penerima fiktif. Betapa tindakan pemerintah ini menunjukkan kezaliman terhadap rakyat.

Perlu upaya yang luar biasa untuk menanganinya. Sebuah kisah masyhur pernah ditorehkan, kisah khalifah umar bin khattab. Ketika berjumpa dengan penduduk yang kelaparan, beliau sendiri yang seketika mengantarkan bahan makanan ke orang tersebut. Betapa sangat peduli dan benar2 memastikan agar penyaluran bahan makanan tersebut sampai dengan tepat. Kisah ini terjadi pada masa kepemimpinan islam. Dimana sistem atau aturan yang di berlakukan adalah dengan petunjuk Sang Kholik yakni Allah SWT yang di dalam nya mampu melahirkan orang2 yang amanah terhadap tugas dan jabatan yang di embannya. Karena ketaqwaan kepada Allah, senantiasa merasa dilihat Allah, dalam keadaan baik ramai maupun sendiri.

 Mekanisme pengelolaan harta dalam sistem islam sangat detil. Yakni memiliki baitul mal, adalah pos yang dikhusukan untuk semua pemasukan atau pengeluaran harta yang menjadi hak kaum muslim. Sumber pemasukan tetap Baitul Mal adalah fa'i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumuz, rikaz, tambang serta harta zakat.

Pengeluaran atau penggunaan harta Baitul Mal  ditetapkan berdasarkan enam kaidah. Demikian di ungkapkan Taqiyyudin An-Nabhani dalam kitab An Nidzam Al Iqtishodi fil Islam.
Pertama. Harta yang menjadi kas tersimpan Baitul Mal, yaitu harta zakat. Apabila harta dari kas zakat tersebut ada , maka akan disalurkan pada delapan ashnaf yang disebutkan dalam Al-Quran.
Kedua. Baitul mal sebagai pihak yang berhak akibat terjadinya kekurangan atau untuk melaksanakan kewajiban jihad.
Ketiga. Baitul mal sebagai pihak yang berhak karena suatu kompensasi yaitu adanya harta yang menjadi hak orang-orang yang telah memberikan jasa, lalu mereks meminta harta sebagai upah atas jasanya.
Keempat. Baitul mal sebagai pihak yang berhak dan pembelanjaannya untuk kemaslahatan dan kemanfaatan.
Kelima. Baitul mal sebagai pihak yang berhak dan pembelanjaannya diserahkan karena kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apa pun.
Keenam. Hak pembelanjaannya karena adanya unsur keterpaksaan, semisal ada peristiwa yang menimpa kaum Muslim seperti paceklik, angin topan, gempa bumi, atau serangan musuh.
Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post