Oleh Ernawati, A.Md
(anggota Forum Komunikasi Muslimah Kota Banjarbaru)
Revisi kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) akan segera diterbitkan. Meskipun demikian, sejumlah pasal masih menjadi kontroversi. Salah satunya adalah keberadaan perkosaan dalam pernikahan atau istilah hukum disebut marital rape. Aturan itu tercantum dalam Pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku perkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun.
Aturan tersebut sebenarnya sudah ada dalam Pasal 53 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Kontroversi terkait marital rape ini diantaranya karena sebagian kalangan menganggap tidak ada istilah tersebut. Sementara sebagian lain, terutama pegiat gender mengganggap kasus ini muncul justru karena adanya legalitas agama. Sehingga memunculkan semangat untuk melakukan reinterpretasi terhadap nash-nash agama sesuai dengan perspektif gender.
Hal ini sungguh disayangkan. Mengingat di negara Indonesia, agama mayoritas adalah Islam. Maka seolah ajaran Islam menjadi tertuduh atas kasus-kasus tersebut. Tentunya ini perlu dikritisi, terutama dari dua hal. Pertama terhadap fakta yang diangkat, dan yang kedua adalah pemahaman Islam tentang kehidupan rumah tangga. Sehingga, kita tidak mengambil sikap yang kebablasan dan salah kaprah dalam melihat persoalan sebenarnya.
Pertama, dari sisi fakta, tidak bisa dipungkiri adanya kekerasan yang terjadi di rumah tangga di Indonesia. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, tercatat ada 192 laporan kasus pada tahun 2019 dan 100 kasus pada tahun 2020 terkait perkosaan terhadap istri. Akan tetapi, perlu dicermati, kasus-kasus tersebut terjadi justru terjadi karena lemah atau kurangnya pemahaman agama yang dimiliki terkait dengan pengaturan agama terhadap kehidupan rumah tangga.
Hal ini juga karena adanya pengaruh dari persoalan ekonomi dan pola hubungan yang dibentuk oleh cara pandang yang liberal dan sekuler.
Misalnya, istri yang harus ikut menanggung beban memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja, sementara juga harus disibukan dengan urusan domestik. Maka beban ini tentu akan mempengaruhi hubungan dengan suami, ketika si suami menghendaki adanya pelayanan dari istri. Ditambah lagi pola hubungan suami istri yang terjadi lebih seperti kemitraan dalam rumah tangga, sehingga masing-masingnya lebih mengedepankan hak-haknya dan menjalankan kewajibannya tanpa didasari pemahaman agama yang cukup.
Hal yang demikian bisa terjadi, karena sistem kapitalis sekuler yang diadopsi negara menegasikan peran riayah (pengelolaan dan pengurusan) oleh negara atas rakyatnya. Mereka dibiarkan berjuang sendiri dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan. Kalau pun ada bantuan, tidak sepenuhnya dapat mengatasi persoalan mereka. Karena perspektif kapitalis sekuler, memandang hubungan negara dan rakyat adalah seperti pedagang terhadap pembeli, ada hitungan untung dan rugi.
Sementara, dalam sistem kehidupan Islam, negara adalah periayah yang mengelola dan mengayomi rakyatnya, sebagaimana orangtua terhadap anaknya, tanpa melihat untung dan rugi. Islam mengamanahkan kepada negara untuk memenuhi semua kebutuhan pokok rakyat, baik yang bisa didapatkan secara gratis oleh semua rakyat ataupun dengan kompensasi harga yang sangat terjangkau. Di antaranya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua itu adalah hal yang menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya secara gratis untuk semua rakyat. Maka, tentu ini akan meringankan beban ekonomi rakyat yang hari ini, masih berkutat untuk memenuhi hal-hal tersebut.
Maka, menuduh bahwa agama yang menjadi kambing hitam atas kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, adalah tuduhan yang tendensius, tanpa melihat fakta yang terjadi secara utuh. Justru sistem kehidupan kapitalis sekuler lah yang memberi dampak negatif terhadap kehidupan rumah tangga, khususnya hubungan suami istri.
Kedua, dari sisi pemahaman Islam terhadap kehidupan rumah tangga. Dalam Islam, pernikahan adalah ibadah. Ikatan pernikahan adalah ikatan yang sakral dan sangat kuat (mitsaqan ghalidzan). Islam memandang hubungan suami istri itu adalah sahabat (shahibah), yaitu persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketentraman satu sama lain. Sebab Allah Swt telah menjadikan kehidupan suami istri itu sebagai tempat yang penuh kedamaian bagi suami istri, sebagaimana firman-Nya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS ar-Rum [30]: 21)
Dari sini, maka difahami supaya pernikahan itu menjadikan suami merasa tentram dan damai di sisi istrinya, begitu pula sebaliknya. Supaya persahabatan di antara suami istri tersebut menjadi persahabatan damai dan tentram, maka syariah Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Pergaulan suami terhadap istri itu merupakan tambahan atas kewajiban memenuhi hak-hak istri berupa mahar dan nafkah. Yakni hendaknya suami tidak bermuka masam dihadapan istrinya tanpa ada kesalahan dari istri. Hendaknya suami senantiasa berlemah lembut dalam bertutur kata, tidak bersikap keras dan kasar. Meskipun sudah menikah, berstatus suami istri, Islam tidak membolehkan suami sembarangan dalam melakukan hubungan seksual terhadap istrinya. Seperti larangan untuk mendatangi istri dari duburnya atau mendatangi di saat haid.
Sebagaimana Allah Swt berfirman :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf" (TQS al-Baqarah [2]: 228)
“Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut (makruf)" (TQS an-Nisa [4] : 19)
Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda :
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istri)-nya. Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluarga (istri)-ku.” (HR al-Hakim dan Ibn Hibban dari jalur Aisyah RA)
Demikian pula Ibn Abbas pernah menuturkan :
“Para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat (kepada suaminya) dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”
Maka dari sini bisa kita pahami, justru kasus-kasus kekerasan terjadi karena lemah atau kurangnya pemahaman agama terkait dengan kehidupan rumah tangga yang telah dijelaskan dalam Islam. Hal ini juga dikarenakan kebanyakan umat Islam memposisikan Islam seolah hanya mengatur persoalan ibadah semata. Padahal Islam sebagai way of life, punya seperangkat aturan yang lengkap, yang mengatur seluruh sendi kehidupan, baik yang berhubungan dengan al-Khalik (ibadah), dengan diri sendiri (akhlak, makanan dan pakaian), serta dengan manusia lainnya (muamalah dan uqubat). Tentunya sebagai seorang muslim, adalah kewajiban kita untuk mempelajari dan memahami kembali Islam dan syariatnya, sehingga dapat merealisasikannya dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment