Lockdown, Siapa Takut?


Oleh: Yanna Ash-Shaffiya

(Lingkar Study Perempuan dan Peradaban)


Sudah lebih 1 tahun pandemi di negeri kita belum teratasi. Corona Virus yang merupakan penyakit bawaan dari Wuhan China yang semakin hari tidak semakin membaik akan tetapi semakin “menggila”. Sejak Januari 2020 Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, mengatakan bahwa corona jenis SSARS-CoV-2 sebagai penyebab Covid-19 itu sudah masuk ke Indonesia sejak awal Januari 202 dan dimungkinkan masuk melalui gerbang di beberapa wilayah masuk Indonesia. Bagaiamana mobilitas penduduk di dalam wilayah negeri Indonesia atau dari luar wilayah Indonesia.

Penguncian wilayah seharusnya menjadi kata kunci yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Penguncian wilayah meliputi penguncian di dalam negeri Indonesia sendiri dan penguncian wilayah beberapa gerbang penerbangan dari luar wilayah Indonesia. Di Indonesia ada 4 gerbang di mana dimungkinkan masuknya seseorang atau sekelompok orang ke Indonesia, gerbang wilayah tersebut adalah Jakarta, Denpasar, Makassar dan Manado.

Selama beberapa bulan terakhir beberapa upaya dilakukan pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya pencegahan menularnya corona virus ini, mulai dari program Health Alert Card atau Yellow Card, juga Thermal Scanner untuk mengecek suhu tubuh diatas 38,5 derajat Celsius di pintu masuk dan keluar negeri Indonesia, meliputi bandara, pelabuhan dan pos lintas batas darat serta menyiagakan 100 rumah sakit di setiap daerah, akan tetapi karena melonjaknya kasus covid-19 di bulan Maret maka pemerintah menambah jumlah rumah sakit menjadi 132 rumah sakit pemerintah, 109 rumah sakit milik TNI, 53 rumah sakit milik Polri dan 65 rumah sakit milik BUMN.

Setelah tanggal 10 Maret 2021 pemerintah menerima surat dari Direktur Jenderal Organisadi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang salah satunya berkaitan share pemerintah meningkatkan mekanisme tanggap darurat menghadapi Covid-19 melalui deklarasi darurat nasional. Sejak itu pemerintah membuat Satuan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin Doni Monardo (kepala BNPB), dimana selama menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Presiden. Setelah itu pemerintah mulai memberlakukan kebijakan belajar di rumah untuk pelajar dan mahasiswa. Kemudian Presiden menyerahkan status kedaruratan daerah kepada Kepala Daerah.

Akhir Maret 2020, kasus Covid-19 semakin parah dan semakin meningkat, hingga mendorong Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) meminta karantina wilayah yang dilakukan secara selektif dengan pertimbangan akan lumpuhnya layanan kesehatan apabila arus wabah semakin besar dan meluas.

Melalui PP No.21 tahun 2020, tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan harapan Indonesia bisa memutus rantai penularan covid-19 dengan pertimbangan utamanya kesehatan masyarakat. PSBB skala nasional ini untuk kemudian diikuti dan diberlakukan per wilayah. Pada bulan Mei pemerintah menerapkan larangan mudik untuk mengantisipasi lonjakan pemudik yang akan memperbesar resiko penularan.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan oleh pemerintah ternyata berimbas pada kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Di awal bulan Juni 2020 Bank Dunia memprediksi pertimbuhan ekonomi Indonesia 0 persen, bahkan kondisi akan lebih buruk lagi akan diperkirakan dibawah 3,5 persen. Dengan kondisi yang sulit inilah akhirnya pemerintah menerapkan tatanan kehidupan di Indonesia dalam kondisi normal baru (new normal), yang dari kementrian kesehatan menetapkan protokol kesehatan dengan mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan dalam jumlah banyak. Namun pemberlakuan beberapa program yang telah dicanangkan pemerintah masih belum cukup maksimal, karena di bulan Juni 2021 lonjakan virus ini meningkatkan kembali.

Pemerintah kembali memberlakukan kebijakan pengendalian penyebaran virus corona atau covid-19. Kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan pelaksanaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro) di lapangan. Terkait hal tersebut, pemerintah akan kembali melakukan penebalan dan penguatan pelaksanaan PPKM Mikro yang berlaku pada tanggal 22 Juni hingga 5 Juli 2021 (Kontan.co.id). Lonjakan covid-19 yang semakin hari semakin naik membuat pemerintah memberlakukan kebijakan baru yaitu PPKM Darurat. Kebijakan yang lebih ketat dan disiplin lagi dari PPKM Mikro.

Apabila kita mengamati, kebijakan yang diterapkan pemerintah kita selalu berganti dari awal diterapkannya Indonesia darurat covid-19 hingga hari ini, sesungguhnya apakah kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan lonjakan dan untuk mengatasi penyebaran virus covid-19 ini sudah efektif? Atau sebaliknya?

Dilansir dari media online CNN Indonesia, Indonesia mencatat rekor kematian harian Covid-19 tertinggi di dunia dengan 1.007 jiwa pada Minggu (11/7). Jumlah itu menyalip India yang berada di urutan ketiga dengan 720 kasus kematian, kemudian Rusia 749, dan Brasil dengan 597 korban meninggal. Di hari sebelumnya, pada Sabtu (10/7) kasus kematian harian di Indonesia berada di posisi ketiga dengan 826 jiwa. Di posisi kedua masih ditempati India dengan 899 kasus dan Brasil menduduki puncak dengan 1.172 korban meninggal.

Data ini menunjukkan jawaban atas pertanyaan, sesungguhnya langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan terhadap kasus kematian Covid-19 di Indonesia belum efektif untuk menghentikan atau meminimalkan bertambahnya kasus Covid-19. Lantas apa sebenarnya akar dari langkah program yang sebaiknya dilakukan untuk penanganan kasus Covid-19 ini?

Di dalam Islam, wabah atau penyakit bukanlah hal yang baru, karena banyak literasi dan bukti sejarah yang menyebutkan bahwa wabah itu ada dan pernah terjadi sebelumnya. Rasulullah SAW bersabda, "Tha'un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya." (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid). Beliau SAW mengajarkan, apabila di suatu wilayah terjadi wabah, maka yang ada di dalam wilayah tersebut jangan keluar dan yang ada di luar wilayah yang terlena wabah, maka jangan masuk. Atau dalam istilah sekarang penguncian wilayah (lockdown) atau karantina wilayah.

Dilansir dari KOMPAS.com, Presiden Joko Widodo akhirnya blak-blakan soal alasan tak memutuskan karantina wilayah atau lockdown sebagai upaya mencegah penyebaran virus corona. Jokowi menyebut lockdown tak menjadi pilihan karena akan mengganggu perekonomian. Hal itu disampaikan Jokowi usai meninjau pembangunan rumah sakit darurat Covid-19 di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (1/4/2020).

Perekonomian lebih urgen dari pada nyawa rakyat. Asas manfaat menjadi pertimbangan utamanya. Apabila lockdown atau karantina wilayah dilakukan, maka pemerintah harus menjamin seluruh kebutuhan rakyat, perekonomian akan lumpuh, pertumbuhan ekonomi akan menurun bahkan bisa saja akan lebih buruk dari krisis ekonomi global di tahun 2008. Benarkah demikian?

Resiko memburuknya perekonomian akan segera diatasi ketika sumber daya manusia di wilayah tersebut sehat dan bisa melakukan aktivitas ekonomi kembali. Akan tetapi, resiko menurunnya pertumbuhan ekonomi atau krisis ekonomi global juga akan terjadi ketika pemerintah tidak “berani” menerapkan lockdown. Mengapa? Karena banyaknya kasus berakibat pada menurunnya jumlah sumber daya yang dimiliki suatu bangsa, menurunnya produksi seiring dengan menurunnya permintaan sehingga berakibat pada banyaknya perusahaan yang gulung tikar, yang bertahan hanyakah 2 atau 3 perusahaan yang kuat bertahan sehingga berakibat pada bertambahnya jumlah pengangguran, ditambah banyaknya angka kematian karena belum tertanganinya masalah virus Covid-19 yang ada.

Sebaliknya apabila pemerintah berani mengambilkan langkah penguncian wilayah atau lockdown atau karantina wilayah, maka di wilayah negeri ini yang terkena wabah akan tetap diam di dalam wilayah tersebut, yang sehat tidak boleh masuk ke wilayah yang dikunci, dan dia tetap bisa menjalankan aktivitas ekonomi, sehingga laju dan pertumbuhan ekonomi tetap jalan dan bisa jadi akan menjadi lebih baik lagi.

Maka sungguh, Rasulullah adalah teladan utama dan pertama. Keyakinan yang kuat akan sempurnanya sistem Islam akan membuat seorang ahli atau kepala negara menjalankan apa yang telah dicontohkan Rasulullah dalam menterjemahkan solusi yang mendasar dan menyeluruh yang bagaimana yang seharusnya diambil untuk mengatasi wabah ini. Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post