Istilah marital rape kembali menggaung. Hal ini lantaran komnas perempuan mendapatkan sedikitnya 100 aduan kekerasan berkedok marital rape selama tahun 2020. Menurut komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini berdasarkan catatan tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan. (detik.news.com, 15 juni 2021)
Kondisi ini tentu menuai perhatian dari banyak pihak khususnya komnas perempuan. Marital rape adalah kondisi dimana terjadi permaksaan hubungan seks dengan pasangan namun meniadakan persetujuan pihak lain yang setara. Alih-alih menentramkan, dalam hal ini pernikahan bisa menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian pihak lantaran adanya kasus marital rape.
Beberapa bentuk-bentuk marital rape yakni hubungan seks yang dipaksakan, hubungan seks namun pasangan merasa terancam, hubungan seks dengan manipulasi, hubungan seks saat pasangan tak sadar, hubungan seks saat pasangan korban tak ada pilihan. Menurut Theresia, ada anggapan di masyarakat bahwa tidak ada yang namanya pemerkosaan dalam hubungan suami istri. Hal ini karena ada anggapan bahwa tugas istri adalah melayani suami dalam segala aspek termasuk melayani secara seksual. (detik.news.com, 15 juni 2021)
Menurut Guru Besar hukum pidana UGM Prof Marcus Priyo Gunarto kasus marital rape ini telah di atur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Menurut RKUHP pelaku marital rape bisa mendapatkan ancaman pidana paling lama 12 tahun. (detik.news.com, 14 juni 2021)
Tingginya kasus marital rape seolah menjadikan pembenaran atas statemen yang selama ini diaruskan di tengah-tengah masyarakat bahwa wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki. Posisi wanita tidak setara dengan laki-laki sehingga mudah untuk “diinjak-injak”. Pendapat ini sejalan dengan ide para pegiat gender. Marital rape sengaja digaungkan di tengah masyarakat agar khususnya para wanita menyepakati ide yang diaruskan oleh para pegiat gender. Jika menelisik lebih dalam bahwa isu ini lebih difungsikan untuk mengobrak abrik tatanan hukum Islam ketimbang menjadi sarana pencetus keadilan atas dasar kesetaraan. Mereka para pegiat gender dan sekularis tengah membentuk opini bahwa saat ini posisi perempuan dibawah laki-laki, sehingga perempuan dianggap bahkan tidak memiliki hak atas dirinya terlebih jika hal itu berkaitan dengan masalah seks.
Kasus marital rape seolah menjadi jalan bagi para pegiat gender untuk meloloskan idenya di tengah masyarakat. Bahkan mereka berupaya mengoalkan ide tersebut dalam legalitas hukum yakni RUU PKS. Alih-alih membawa keadilan bagi perempuan, sejatinya kaum perempuan hanya di jadikan sebagai alat untuk menuntut keadilan atas dasar persprektif mereka.
Kasus marital rape adalah kasus yang sifatnya kasuistik. Dalam arti bahwa tidak semua orang mengalami kondisi tersebut. Sehingga tidak bisa kondisi tersebut di jadikan sebagai pembenaran atas legalnya Rancangan Undang-Undang yang notabene RUU tersebut dapat dengan mudah di tarik ulur dengan atas kasus lain yang hal itu berdampak pada porak-porandanya bahtera pernikahan.
Kasus marital rape merupakan kasus sangat mungkin terjadi dalam sistem sekuler kapitalistik. Sistem ini menjadikan seseorang hanya berorientasi atas kesenangan materi. Sehingga dalam hal pernikahan, akan menjadi sangat mungkin bagi seseorang yang menikah lantas mengacuhkan kewajiban satu sama lain. Bahkan mungkin berlaku dzalim atas yang lain.
Berbeda dengan sistem Islam, Islam memandang bahwa pernikahan adalah mitsaqan ghalidza (perjanjian agung) antara dia dengan Allah. Sehingga ketika ijab qabul telah diikrarkan maka seorang muslim harusnya memahami hak dan kewajibannya. Adapun kewajiban suami terhadap isteri yakni memberikan mahar kawin, nafkah yang layak sesuai kemampuan baik pakaian dan tempat tinggal, menggauli istri secara makruf, menjaga istri dari dosa, memberikan cinta, kasih dan sayang. Selain suami, istri juga harus menjalankan kewajibannya terhadap suami, yakni mentaati suami, mengikuti tempat tinggal suami, melayani kebutuhan biologis suami kecuali ada udzur syar’i, menjaga diri saat suami tidak ada, dan tidak keluar rumah kecuali atas izin suami. Dalam hal jima’ (hubungan intim suami dan istri) islam mengajarkan hendaknya seorang suami melakukannya secara pelan-pelan dan lembut. Jika kondisi tersebut tidak terjadi maka ada perlakuan dzalim dari salah satu pihak.
Jika suami/istri tidak menjalankan kewajibannya dengan baik, maka Allah telah mengaturnya dalam Alquran surat An Nisa ayat 34 yang artinya “wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka, dan pukullan mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya...”. Dalil inilah yang sering diulik oleh para pegiat gender untuk memojokkan hukum islam. Mereka mengopinikan bahwa Islam merendahkan kaum wanita dengan hukum bahwa wanita harus taat kepada suaminya.
Dalam hal ini yang perlu kita pahami bahwa Islam memandang atas derajat yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal ketaqwaan kepada Allah. Dalam Qs. Ali-Imran ayat ke-195 yang berbunyi: “....Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal-amal orang yang beramal karena sebagian kami adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang, dan yang dibunuh, pastilah akan Aku hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”
Bagi kaum wanita, Allah memerintahkan taat kepada suaminya dan suami di perintah mengauli istri dengan baik sebagaimana dalam QS. An-nisa’ Surat An-Nisa’34 : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". Jika salah satu yang lain berlaku dzalim maka khalifah akan menindak kedzaliman tersebut bahkan bisa mengambil opsi perceraian untuk mengatasi permasalahan tersebut. Serta menegakkan hukum Islam atas pelaku yang berlaku dzalim. Kondisi ideal ini hanyalah bisa diterapkan dalam sistem Islam. Wallahu a’laam.
Post a Comment