(Penggiat Literasi)
Pandemi covid-19 masih melanda kita sampai saat ini. Di Indonesia, virus asal Wuhan ini pertama kali terdeteksi pada Maret 2020. Artinya, sudah satu tahun lebih negara ini terkena virus Corona.
Selama rentang waktu tersebut diatas, data 30 Juni 2021 kemarin, kasus positif Covid-19 bertambah 21.807 orang. Jika ditotal, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah menjangkit 2.178.272 orang. (https://www.merdeka.com/jakarta/bersembunyi-di-balik-istilah-ppkm.html)
Kelelahan dan kewalahan terjadi di berbagai pelosok negeri ini, terutama pihak yang terkait ataupun kalangan masyarakat yang terkena virus cobid-19. Di saat seperti inilah, tercetus doa bersama dari Mendes Abdul Halim Iskandar.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengirimkan surat resmi kepada kepala desa, pendamping desa dan warga desa untuk menggelar doa bersama. Dalam surat resmi tersebut, Halim mengimbau agar seluruh pihak melakukan doa bersama sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Adapun doa ini dilakukan guna menyikapi kondisi melonjaknya angka COVID-19 di Indonesia. (https://news.detik.com/berita/d-5629856/mendes-imbau-masyarakat-doa-bersama-di-rumah-agar-ri-bebas-covid-19)
Doa Bersama adalah perwujudan bahwa sesungguhnya manusia membutuhkan Allah dalam menghadapi wabah saat ini. Dalam hal ini juga merupakan bentuk penghambaan bahwa kita sebagai manusia tak ada daya dan upaya tanpa kehendak Allah.
Meminta dikabulkannya segala doa adalah hak setiap hamba. Tapi apakah hak itu sudah dibarengi dengan kewajiban kita sebagai seorang muslim yang harusnya senantiasa taat?
Kita ambil saja satu contoh kemaksiatan yang dilakukan di negeri ini, tak hanya oleh individu bahkan juga dilakukan oleh pemerintah. Kemaksiatan yang dimaksud adalah memakan uang riba, yang jelas-jelas hukumnya haram.
Padahal dalam konteks agar doa bisa dikabulkan adalah dengan cara tidak memakan harta atau barang haram. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya menjadi kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat kedua tangannya ke langit dan berdoa, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan do’anya” (HR. Muslim no. 1015).
Maka dari itu selayaknya yang kita lakukan di negeri ini tidak hanya doa bersama, melainkan juga taubat bersama dengan cara menerapkan aturan Allah Sang Maha Pencipta di seluruh aspek kehidupan kita, tak terkecuali dalam urusan bermasyarakat atupun bernegara.
Dengan ketaatan individu, masyarakat bahkan bernegara insyaaAllah akan tercipta keberkahan. Keberkahan bukanlah pemberian Allah yang tiba-tiba dengan tanpa sebab diturunkan kepada seseorang. Keberkahan merupakan sesuatu yang senantiasa diminta dan harus diupayakan oleh setiap manusia kepada pemiliknya, Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman-Nya
"Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96).
Wallahu a’lam
Post a Comment