Bersembunyi di Balik Istilah PPKM!

Dilansir dari sumber yang ada, diungkapkan bahwa pandemi Covid-19 yang disinyalir  berasal dari Wuhan, China yang pertama kali terdeteksi pada Maret 2020 ternyata hingga saat ini masih  melanda di banyak negara di dunia,  tidak terkecuali Indonesia. Sudah satu tahun lebih juga Indonesia terkungkung dengan wabah Corona.
(merdeka.com, 1 Juli 2021).

Bukannya semakin berkurang? Nyatanya virus Corona masih betah berdiam di negeri ini. Bahkan faktanya tingkat kasus terinfeksi virus semakin tinggi. Bahkan dikabarkan akhir-akhir ini meroket taam.

Diperkirakan dari data 30 Juni 2021, kasus  Covid-19 bertambah 21.807 orang. Dan jika di jumlahkan kasus Covid-19 sudah menjangkit 2.178.272 orang. 

Sebenarnya jika ditinjau kembali, sudah banyak masukan dan saran kepada pemerintah dari awal mula virus Corona melanda Indonesia hingga saat ini. Termasuk saran agar menerapkan penguncian wilayah (lockdown), karena dianggap cara tersebut ampuh dalam mengurangi laju penyebaran Covid-19, karena sudah tentu terbatasnya aktivitas masyarakat dengan ketat.

Namun saran tersebut tampaknya kurang diindahkan pemerintah, nyatanya  pemerintah malah menerapkan opsi lain yang sebelumnya diambil lewat berbagai pertimbangan. Akhirnya pemerintah lebih memilih  menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan tujuan mengurangi aktivitas masyarakat diluar rumah dan dibuat untuk sejumlah sektor. Termasuk penutupan pusat perbelanjaan, aktivitas belajar dialihkan dirumah. Dan perkantoran hanya diizinkan setengah dari kapasitas gedung.

Penerapan PSBB yang dianggap bisa menurunkan positif harian Covid-19 setelah pemerintah melakukan evaluasi, setelahnya masyarakat diajak beradaptasi dengan tatanan kehidupan baru atau new normal. Dengan harapan agar masyarakat dapat beraktivitas kembali sembari menganjurkan agar tetap menjaga protokol kesehatan.

Namun setelahnya istilah PSBB beralih menjadi PPKM skala mikro. Cuma kebijakan tersebut sedikit melonggarkan operasional sejumlah sektor. Seperti kapasitas perkantoran menjadi 50 persen, mal kembali dibuka dengan membatasi jumlah pengunjung dan jam dibatasi. Sedangkan aktivitas belajar secara tatap muka sudah mulai diuji coba bagi wilayah zona hijau.

Istilah PPKM skala mikro akhirnya dipilih kembali oleh pemerintah untuk diterapkan disaat kasus Covid-19 melonjak naik dalam beberapa pekan terakhir ini. Namun hal tersebut sangat disayangkan oleh berbagai pihak. Yang seharusnya pemerintah bisa lebih serius dalam menekan penyebaran virus Corona atau kasus positif.

Faktanya pemerintah lebih mengkhawatirkan masalah ekonomi daripada keselamatan nyawa rakyat. Kebijakan PPKM skala mikro dianggap memungkinkan karena aktivitas ekonomi yang bisa berjalan walaupun dibatasi.

"Pemerintah melihat bahwa kebijakan PPKM mikro masih menjadi kebijakan yang paling tepat untuk konteks saat ini, untuk mengendalikan Covid-19 karena bisa berjalan tanpa mematikan ekonomi rakyat, " kata Jokowi di pekan terakhir bulan Juni, 2021.

Setelah sepekan pengumuman tersebut, pemerintah berubah pikiran untuk mengganti konsep penerapan PPKM skala mikro menjadi berat. Dengan harapan kebijakan tersebut dapat menekan laju penyebaran Covid-19 yang semakin memprihatinkan di Tanah Air. PPKM Darurat sudah mulai berlaku 2 Juli hingga 20 Juli yang akan datang dan dilakukan di Pulau Jawa dan Bali. Sebab terdapat 44 kabupaten dan 6 propinsi yang dinilai assesmennya 4. Dan Jokowi menilai perlunya treatment khusus sesuai dengan indikator laju penularan dari WHO.

Namun anggota DPR RI, Saleh Partanoan Daulay, menilai perlu ada definisi jelas terkait pemberlakuan PPKM darurat, karena dikhawatirkan tidak ada perubahan yang signifikan.
(merdeka.com, 1 Juli 2021).

Pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, dinilai akan mengoreksi ekspektasi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021, yang sebelumnya diperkirakan akan keluar dari zona kontraksi. Sebagaimana diutarakan oleh anggota DPR RI Komisi XI, Ahmad Yohan, yang memprediksi bahwa PPKM Darurat akan menekan konsumsi masyarakat dan investasi, serta nilai tambah PDB di kuartal II-2021.
(viva.co.id, Minggu, 4 Juli 2021).

Jokowi sendiri mengumumkan PPKM darurat di Jawa dan Bali 3-20 Juli 2021. Istilah PPKM darurat yang diperkenalkan pemerintah dalam rangka menekan lonjakan kasus Covid-19 khususnya di Jawa dan Bali dalam beberapa pekan terakhir. Hingga Kamis (01/07), kasus harian dinyatakan pecah rekor 24.836 kasus atau meningkat dua kali lipat dari dua pekan terakhir. Begitu juga angka kematian, meningkat menjadi 250℅ dalam periode yang sama. Angka tersebut direspon Presiden Joko Widodo dengan pengumuman kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat.

Kebijakan PPKM darurat dijelaskan lebih rinci oleh  Luhut Binsar Pandjaitan, selaku Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi.
"Apa yang sudah kami siapkan ini, saya kira hal yang paling maksimal dan sudah kami laporkan kepada Presiden, dan Presiden juga setuju dengan langkah-langkah ini," kata Luhut dalam keterangan pers, Kamis.

Pemberlakuan PPKM darurat disinyalir lebih ketat dari kebijakan sebelumnya. Mengingat kematian harian akibat Covid-19 naik hampir 300℅ dan diharapkan PPKM darurat seperti PSBB total. Namun kebijakan PPKM disebut dinilai tidak efektif dalam menahan laju penularan. Apalagi rumah sakit di Pulau Jawa dan Bali nyaris kolaps sejak wabah mengintai negeri di awal 2020. Sementara pemerintah dianggap telah berupaya memberlakukan berbagai strategi untuk mengendalikan kasus Covid-19.

Melalui penerapan PPKM darurat tersebut, aktivitas perkantoran sektor nonesensial yang berarti bukan sektor keuangan, perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan, industri orientasi ekspor. Sektor nonesensial ini kabarnya akan dilakukan sepenuhnya dari rumah dan dibatasi kapasitasnya 50℅. 

Sedangkan sektor kritikal diperbolehkan 100℅, diantaranya kesehatan, keamanan, energi, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, seperti petrokimia, semen, kontruksi, utilitas dasar (seperti listrik dan air), objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, dan industri kebutuhan pokok masyarakat. Dengan pemberlakuan sama seperti PSBB.

Hanya saja, jika melihat Pergub Jakarta No. 33/2020, bahwa yang menjadi dasar PSBB pertama di Jakarta, dinyatakan secara jelas seluruh kantor/instansi pemerintah pusat dan daerah, BUMN dan kantor perwakilan negara asing masuk yang dikecualikan.

Ketika awal penerapan PSBB, resepsi yang mengundang kerumunan juga tidak diperbolehkan. Hal tersebut tertuang pada Pergub DKI Jakarta No. 33/2020 mengenai PSBB, yaitu pernikahan hanya dilakukan di KUA dan dihadiri kalangan terbatas. Namun saat PSBB transisi  dan PPKM, hajatan mulai dibuka dengan kapasitas terbatas dan protokol kesehatan.
Sedangkan PPKM darurat, resepsi pernikahan diperbolehkan dengan syarat hanya boleh dihadiri maksimal 30 orang. 
"Tidak menerapkan makan di resepsi, penyediaan makan hanya diperbolehkan dalam tempat tertutup dan dibawa pulang. Ini juga tadi bisa jadi sumber kluster terbaru," kata Luhut.

Pemberlakuan PPKM juga berlaku pada kapasitas transportasi yang dibatasi maksimal 70℅ penumpang. Ketika mengadakan perjalanan jauh dengan  menggunakan pesawat, bus dan kereta api juga harus mengantongi sertifikat vaksin, dan hasil tes antigen/PCR. 
(bbcnews.indonesia, 1 Juli 2021).

Istilah demi istilah yang dianggap menjadi antisipasi pemerintah dalam menekan laju penurunan kasus positif Covid-19 harian nyatanya tidak membuahkan hasil yang signifikan.

Bagaimana mungkin kebijakan yang cenderung tumpang tindih dapat menyelesaikan masalah yang semakin menggunung di negeri ini? Pemberlakuan kebijakan juga cenderung tebang pilih!


Misalnya saja, pemerintah menghimbau warganya sendiri untuk tidak mengundang keramaian dengan berbagai kebijakan dan sederet istilah yang membuat bingung rakyat. Sementara rakyat harus berusaha sendiri memenuhi kebutuhan pokoknya. Bantuan sosial yang turun juga kerap tidak terealisasi dengan merata.
Namun disisi lain, TKA dengan bebas bisa masuk ke Indonesia . Sebanyak 20 TKA asal China tiba di Indonesia. Sebuah kebijakan yang ironi dan cenderung salah kaprah. Seakan-akan terkesan berpihak terhadap para korporat. Padahal TKA bisa saja sumber varian baru virus Corona.
(cnn.indonesia, Minggu, 4 Juli 2021).

Memang tabiat pemimpin di sistem sekuleris kapitalisme selalu berasaskan kepada kemanfaatan belaka. Materi dan untung rugi selalu jadi bahan pertimbangan dalam meriayah rakyatnya. Padahal rakyat sudah terbebani dengan segala peraturan yang ujung-ujungnya mengarah kepada materi. Apalagi kebijakan  pembayaran pajak (PPN) sudah dilirik kepada kebutuhan dasar rakyat, juga pendidikan dan kesehatan. Sementara rakyat tidak tahu lagi harus mencari kemana pundi-pundi rupiah yang semakin hari  semakin sulit di dapatkan. Lapangan kerja juga sudah sulit di dapat. Apalagi disaat pandemi banyak, perusahaan yang nyaris gulung tikar.

Jika dari semula pemerintah mau menerima masukan dari berbagai pihak tentu tidak sepanjang waktu ini virus berdiam di negeri ini. Penguncian wilayah (lock down) yang sudah pernah dicontohkan Rasulullah dan para Sahabat seharusnya dapat dijadikan solusi tepat. Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا

Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari)

Penerapan lock down juga tidak menghambat perekonomian. Karena wilayah yang tidak terdampak masih bisa beraktivitas seperti biasa.
Itulah mengapa wilayah yang terdampak tidak boleh dimasuki begitu juga sebaliknya warga yang berada di wilayah yang terdampak tidak boleh keluar.  Sehingga dapat dengan segera memutus mata rantai penyebaran wabah. Masyarakat yang ada di area tidak terdampak juga tidak cenderung lepas tangan. Khalifah akan memotivasi rakyatnya agar meringankan penderitaan saudaranya.
Karena sejatinya Khalifah menaungi seluruh warganya baik muslim maupun non muslim yang hidup didalamnya.

Mka sangat di sayangkan jika pemimpin negeri ini tidak bercermin  kepada sistem Islam yaitu Khilafah yang berkuasa 13 abad lamanya. Jika bukan karena tangan-tangan antek-antek kafir penjajah tentu sistem Islam tidak akan pernah sirna dari muka bumi. Hanya saja Allah sudah mengatur itu semua. Tinggal lagi Khilafah itu memang harus ditegakkan kembali dengan perjuangan dan pengorbanan umat Islam agar manusia kembali kepada aturan Allah.
Sehingga wabah dapat segera berakhir. Dan umat manusia pun mendapat ketenangan dalam menjalani kehidupan yang ada dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post