Anggaran RS dan Nakes Seret, Apa Prioritas Pemerintah di Tengah Ledakan Covid?

Oleh: Adhim Salamiani (Aktivis Muslimah)


Hampir 2 tahun pandemi covid 19 belum juga menunjukkan puncaknya, jumlah korban semakin banyak. Seiring pandemi ini, tentu nakes dan seluruh komponen kelengkapannya menjadi garda terdepan dan perhatian utama dalam penanganan pandemi hingga wabah dapat terkendali. Namun, kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih nakes mendapat perhatian dan kesejahteraan, justru kesejahteraan terasa layaknya mimpi yang tak tergapai. Intensif untuk nakes saja menunggak sebagaimana dikutip dari Kompas.com, "Untuk tunggakan insentif tenaga kesehatan yang dikelola rumah sakit di bawah Kemenkes langsung catatan kami Rp 1,48 triliun," ujar Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata dalam konferensi pers virtual APBN Kita, Selasa (23/3/2021). 

Belum lagi tunggakan rumah sakit rujukan covid. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan sedang berupaya menuntaskan tunggakan klaim rumah sakit rujukan COVID-19. Total tunggakan yang belum dibayarkan pada tahun anggaran 2020 mencapai Rp22,08 triliun. "Dari tunggakan ini kami berproses terus," kata Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Rita Rogayah, saat memberikan keterangan pers yang disiarkan melalui YouTube, Jumat (25/6/2021).

Hal ini yang membuat kita sebagai masyarakat bertanya-tanya, apa gerangan penyebab segala kemacetan dalam pendanaan covid 19 ini? Apakah penanganan ini tidak menjadi prioritas bagi pemerintah, sehingga pendanaannya terkesan dilambat-lambatkan? Padahal pendanaan ini merupakan hal pokok untuk menunjang penanganan korban Covid 19. Kondisi ini memberi gambaran seolah-olah nakes dan RS rujukan covid berjuang sendiri dalam pandemi ini. Rumah sakit harus memutar otak sendiri dalam menutup biaya operasionalnya, sementara kasus covid makin meningkat bahkan banyak dari RS rujukan yang sudah overload sehingga banyak pasien yang tidak tertangani secara maksimal.

Sayangnya, di balik hal itu, pemerintah menyampaikan telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 5,28 triliun untuk insentif tenaga kesehatan periode Januari hingga Juni 2021. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menjelaskan, pemerintah telah melakukan transfer ke rekekning daerah untuk insentif tenaga kesehatan sebesar Rp 4,2 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 3,2 triliun telah dicairkan kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan. Jadi masih ada Rp 1 triliun yang masih mengendap di rekening daerah. Dan untuk itu kami juga sudah melakukan konsolidasi bersama dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) dan Kemenkes terkait dengan hal tersebut. (Kompas.com)

Sebetulnya masalah yang disebabkan oleh rumitnya birokrasi bukan lagi hal baru, Namun pemerintah seharusnya lebih fleksibel lagi dengan mempermudah birokrasi dalam hal pencairan dana agar operasional penanganan covid dapat tercover dengan baik, tanpa merugikan masyarakat umum, nakes, maupun pihak-pihak lain. Nakes dan penyedia layanan Kesehatan pun tidak bisa berkutik dan tidak bisa bekerja dengan baik apabila keperluan hidup mereka saja tidak ditunjang dengan baik oleh pemerintah, sedangkan mereka terpaksa menghabiskan seluruh tenaga, waktu dan usahanya untuk memerangi pandemi ini.

Akan tetapi ada penyebab yang lebih mendasar daripada birokrasi yang kaku ini. Yakni sistem kapitalis yang menjadi dasar dari pengurusan negara, sehingga pengelolaan keuangan negara pun diupayakan mampu mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Masalah Kesehatan bukan lagi dianggap kebutuhan pokok massal yang harus dipenuhi oleh negara. Melainkan sebagai salah satu pintu bisnis untuk mendulang rupiah. Ketika pola pikir demikian sudah menjadi dasar, maka tak heran jika rumah sakit yang seharusnya menjadi sektor pelayanan masyarakat dituntut mendatangkan pemasukan, walhasil pasien menjadi terbebani. Masalah ini semakin berat diera pandemi ini, sehingga pihak rumah sakit seolah harus berjuang dua kali lipat untuk menutup biaya operasional sekaligus menjalankan prosedur yang layak untuk pasien. Sampai muncul beberapa pertimbangan di masyarakat untuk tidak membawa orang-orang yang bergejala covid agar tidak banyak mengeluarkan biaya yang banyak di rumah sakit dikarenakan harus membayar biaya yang lebih mahal untuk pelayanan sesuai prosedur covid 19 jika nantinya “dicovidkan”.

"Dicovidkan", Istilah yang umum ditengah masyarakat awam yang sudah kehilangan kepercayaan kepada pemerintah terkait penanganan pandemi covid 19. Tentu hal ini semakin menambah berat kinerja penanganan covid di negara ini, dikarenakan semakin sulit melakukan tracing kepada siapa-siapa saja yang memiliki kemungkinan positif covid 19.

Dr. ‘Abdurrahman al-Khalidi dalam Kitab Ash-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla mengatakan: (Jaminan pemenuhan) kebutuhan-kebutuhan primer bagi seluruh rakyat telah ditetapkan oleh syariah sebagai kewajiban atas negara secara langsung. Nabi saw bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).

Syariah menetapkan bahwa diantara tanggung jawab (negara) adalah memenuhi kebutuhan asasi bagi seluruh rakyat. Kebutuhan asasi tersebut adalah keamanan, kesehatan dan Pendidikan. Berobat termasuk perkara mubah. Namun demikian, kesehatan merupakan salah satu urusan dari urusan-urusan rakyat. Bahkan kesehatan badan termasuk salah satu urusan vital. Oleh karena itu, pemenuhan kesehatan wajib atas negara. Apalagi tidak adanya pemenuhan kesehatan bagi masyarakat bisa menimbulkan bahaya.  Menghilangkan bahaya wajib atas negara. Nabi saw. bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan.” (HR Malik)

Atas dasar itu, penyediaan pelayanan kesehatan wajib menjadi prioritas oleh negara. Pasalnya, kesehatan merupakan salah satu urusan rakyat yang wajib dilayani. Tidak adanya pelayanan kesehatan bisa menimbulkan bahaya bagi masyarakat. Hal demikian akan sulit terealisir apabila sistem kapitalis yang masih menjadi dasar kepengurusan negara ini. Dimana segala bentuk pelayanan masyarakat yang dilakukan oleh negara masih bertujuan untuk mendulang keuntungan, termasuk dibidang pelayanan kesehatan.

Tuntasnya problematika ini hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas pemikiran dan aturan terbaik, yakni akidah dan syariah Islam. Islam adalah agama terbaik yang Allah SWT turunkan. Allah SWT berfirman:
أَفَحُكۡمَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَۚ وَمَنۡ أَحۡسَنُ مِنَ ٱللَّهِ حُكۡمٗا لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ  ٥٠
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50). Menurut Imam an-Nasafi dalam kitab tafsirnya, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta‘wîl, maknanya, “Sungguh tidak ada hukum yang paling adil dan baik dibandingkan dengan hukum Allah.” Karena itu sepatutnya kita mulai melihat ke arah sistem Islam sebagai solusi global atas permasalahan yang melanda negara ini. Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post