Wisata Boleh, Mudik Jangan. Emang Covid Milih Kerumunan?


Oleh: Merli Ummu Khila
Pemerhati Kebijakan Publik 

Bingung, kesal, dan kecewa. Mungkin perasaan ini sedang dirasakan ribuan masyarakat terutama perantau ketika pemerintah memutuskan untuk melarang mudik untuk kedua kalinya. Bagaimana tidak, dua tahun sudah menahan rindu pada kampung halaman karena terhalang oleh pandemi. Alasan sebagai penekanan terhadap penyebaran virus Covid-19 dianggap sebagai alasan klasik.

Seperti dikutip dari Kompas.com, 26 April 2021, Pemerintah melarang secara resmi mudik lebaran tahun ini mulai 6 hingga 17 Mei 2021. Tidak hanya itu, pemerintah melakukan pengawasan terhadap mobilitas pemudik jelang lebaran sedini mungkin yaitu dari tanggal 22 April-5 Mei dan 18-24 Mei 2021. Aturan ini diresmikan dalam Surat Edaran Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021.

Masyarakat bukan tidak mau berpartisipasi dalam penanganan wabah. Jika alasan pemerintah demi keselamatan rakyat, mungkin bisa diterima. Namun kebijakan ini menjadi kontroversial, pasalnya secara bersamaan justru terkesan menggalakkan pariwisata. Padahal secara logika, kerumunan saat berwisata justru lebih besar ketimbang yang kerumunan saat mudik. 

Ekonomi Prioritas Utama di Atas Nyawa 

Melihat fakta di atas, sulit untuk menerima alasan pemerintah atas kebijakan protokol kesehatan yang tebang pilih. Terlalu naif jika hal ini disebut kebijakan karena sangat jauh dari kata bijaksana. Wajar saja jika masyarakat banyak menilai bahwa pemerintah lebih memilih menyelamatkan perekonomian ketimbang menanggulangi wabah. 

Tengok saja kebijakan banyak yang setengah hati. Tegas melarang sekolah dan mudik karena tidak menggerakkan perekonomian. Tapi bersemangat menyelamatkan perekonomian dengan alokasi anggaran tertinggi. Membatasi mobilitas rakyat, namun di sisi lain membuka pintu lebar terhadap warga asing. 

Wisata Bebas Corona, Mungkinkah? 

Berbeda perlakuan dengan pariwisata, seolah tidak menyebabkan angka penularan. Jelang libur lebaran sejumlah objek wisata mulai dibuka untuk umum. Dengan basa-basi himbauan jaga protokol kesehatan, pemerintah justru mendorong masyarakat untuk berwisata. 

Hal ini tentu membuat masyarakat protes keras dan merasakan ketidakadilan. Kebijakan seolah berstandar ganda. Ramai-ramai pejabat menampik tudingan inkonsisten penerapan kebijakan. Lagi-lagi alasan ekonomi yang dipilih. Patuh protokol kesehatan dijadikan senjata demi perekonomian bisa berjalan. 

Faktanya, tentu tidak semudah itu mengatur masyarakat untuk disiplin patuh prokes. Buktinya sudah tahun kedua pandemi melanda, namun belum terlihat tanda-tanda kurva melandai. Tumpang tindihnya kebijakan, serta penerapan yang jalan di tempat menyumbang angka penyebaran. Ditambah lagi sarana serta edukasi protokol kesehatan yang minim, sulit bisa memastikan wisata bebas Covid-19.

Sungguh ironi, pemerintah seolah tak peduli lagi keselamatan rakyat. Inkonsisten terhadap kebijakan yang diterapkan hanya demi penyelamatan ekonomi. Kesemrawutan ini akan terus terjadi dan rakyat akan selalu menjadi korban. Rakyat harus menerima resiko akan lonjakan kasus pasca lebaran dari cluster wisata. 

Kebijakan yang Tak Bijaksana

Harus diakui bahwa kegagalan pemerintah menangani pandemi adalah buah dari sistem yang rapuh. Manajemen krisis yang tidak efektif.  Serangan virus hanyalah pemantik ambruknya sebuah sistem yang dibangun oleh akal manusia. Karena jauh sebelum pandemi menyerang, kekacauan memang sudah terjadi di semua aspek kehidupan. 

Sistem perekonomian yang didominasi oleh sektor non riil menjadikan ketahanan sebuah negara nyaris tanpa pondasi. Kekayaan hanya dinikmati segelintir orang yang mempunyai kekuasaan dan pemilik modal. Sedangkan rakyat dimiskinkan oleh sistem yang membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. 

Semua akan sepakat bahwa demokrasi yang menuhankan suara terbanyak justru menjadi faktor kehancuran. Slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah pepesan kosong. Nyatanya rakyat hanya menjadi tumbal dari setiap kebijakan.

Kepemimpinan yang dikukuhkan atas dasar suara terbanyak akan menghasilkan penguasa yang tamak akan kekuasaan. Ambisi memenangkan tampuk kekuasaan tentu membutuhkan modal dan dukungan yang besar. Disinilah berawalnya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha untuk mengeruk uang rakyat. 

Islam Solusi Problematika Umat 

Berbeda dengan Islam, esensi dari kepemimpinan adalah dengan apa dia memimpin. Bukan sekedar siapa yang memimpin tetapi dengan sistem apa dia memimpin. Sistem atau ideologi menjadi kunci penentu keberhasilan dalam tata kelola negara. 

Kepemimpinan dalam Islam adalah pemimpin yang dipilih umat melalui baiat. Tanggungjawab yang maha berat, menjadikan jabatan khalifah justru tidak diperebutkan apalagi sampai  berambisi menduduki tampuk kekuasaan. Sistem pengangkatan khalifah ini yang menihilkan adanya deal politik dengan kapitalis yang menjadi sumber bencana. 

Tugas khalifah sebagaimana disebutkan dalam hadis:
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)

Sebagai pengurus rakyat, sudah barang tentu prioritas negara adalah memastikan rakyatnya terpenuhi semua kebutuhan dasar tak terkecuali keamanan dan kesehatan. Semua kebijakan yang diambil negara berdasarkan kemaslahatan rakyat. Sumber hukum yang diterapkan bukan hasil dari kompromi manusia melainkan aturan yang diturunkan oleh Pencipta alam semesta yaitu Al-Khalik. 

Kepemimpinan dalam Islam ini bukanlah utopis atau khayalan belaka. Namun sejarah sudah membuktikannya selama ribuan tahun menguasai percaturan dunia dengan mengimplentasikan Al-Qur'an dalam kehidupan. Kemasyhuran peradaban ini masih meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapuskan dari ingatan dunia. 

Will Durant seorang sejarawan Barat dalam bukunya "Story of Civilization" dia mengatakan, “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka”

Demikianlah kesejahteraan akan dikaruniakan oleh Allah Ta’ala tatkala manusia kembali hidup dalam aturan Islam. Dalam hal ini Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raf: 96).

Wallahu a'lam bish shawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post