Segitiga Kecurangan: 'Bermuda' Penyebab Kecelakaan Diri dan Negara Oleh Siti Khadijah



Oleh Siti Khadijah
(Pendidik dan Pegiat Literasi)

Lembaga Riset Indonesia (LSI) mendapati bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yakni sebesar 69,6% tidak mengetahui terjadinya korupsi di instansi tempat mereka bekerja. Survei dilakukan pada seluruh PNS di lembaga negara tingkat dan provinsi yang tersebar di 14 provinsi. Hasil survei LSI juga menemukan bahwa praktik koruptif yang banyak terjadi adalah penerimaan uang atau barang dari suatu pihak kepada PNS untuk melancarkan urusan pihak tersebut. Lebih lanjut, penyebab terjadinya praktik korupsi menurut hasil survei ini di antaranya adalah karena kurangnya pengawasan, adanya keberadaan campur tangan politik dari yang lebih berkuasa, serta disebabkan rendahnya gaji yang diterima PNS yang bersangkutan (Republika,  19/04/2021).

Menpan RB Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa rata-rata hampir 20-30%  PNS diberhentikan secara tidak hormat dalam setiap bulannya karena melakukan tindakan korupsi. LSI dalam risetnya menemukan bahwa terdapat 5 bagian paling korup dalam instansi pemerintah yakni, bagian pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan, serta bagian personalia (Merdeka.com, 18/04/2021).

Korupsi nampaknya terus menjadi penyakit sekaligus tugas bagi pemerintah setiap tahunnya. Menjadi penyakit karena telah banyak menggeregoti dan merugikan keuangan negara, menjadi tugas karena belum dapat diselesaikan hingga saat ini. Singleton (2010) dalam bukunya mengutip penjelasan Donald Cressey dan Edwin Sutherland mengenai perilaku kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh seseorang. Penjelasan ini lebih dikenal dengan istilah "fraud triangl"  atau "segitiga kecurangan".  Menurut penjelasan ini, perilaku curang yang dilakukan oleh seseorang dapat disebabkan oleh tiga hal, yakni tekanan, rasionalisasi, dan kesempatan. Korupsi yang merupakan salah satu perilaku curang juga termasuk dalam tindakan yang berpotensi disebabkan oleh 3 hal tersebut.

Jika dikaitkan dengan temuan LSI, maka dapat dilihat bahwa dalam instansi pemerintah dalam hal ini, Indonesia  "segitiga kecurangan" juga nampaknya menjadi 'motivator' bagi para koruptor dalam melakukan tindakan kecurangan. Tekanan yang diberikan dari pihak yang lebih berkuasa serta tekanan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya korupsi. Rendahnya gaji yang diterima biasanya menyebabkan oknum  PNS yang melakukan korupsi merasionalisasi tindakannya. Dalam hal ini, gaji yang diterima mungkin dianggap tidak sepadan dengan tugas yang harus mereka lakukan, sehingga korupsi menjadi suatu hal yang wajar bagi oknum yang bersangkutan.

Sementara itu faktor ke-3, yakni kesempatan biasanya berkaitan dengan kedudukan oknum yang bersangkutan di unit kerjanya. Melihat hasil survei LSI, bagian-bagian terkorup yang dimaksud memang memiliki potensi besar untuk dilakukan korupsi di dalamnya. Bukan saja karena nominal uang yang mungkin dapat diambil, namun juga karena bagian  bagian tersebut menangani ha-hal yang berkaitan dengan orang banyak atau publik secara khusus. Dalam bagian-bagian tersebut, oknum-oknum nakal memiliki kesempatan untuk mengambil keuntungan dari pihak- pihak yang membutuhkan pelayanan dari bagian tersebut.

Jika ditinjau secara umum, kondisi ini tidak dapat dielakkan merupakan dampak dari sistem kapitalisme  dan sekulerisme yang diterapkan di negeri ini. Asas manfaat yang menjadi standar tindakan manusia menjadikan individu sangat berfokus pada untung-rugi dari segi material pada setiap tindakannya. Alhasil, ketika suatu hal dianggapnya tidak memberikan manfaat material yang maksimal, maka segala cara pun ditempuh untuk memaksimalkan manfaat material yang diperolehnya sekalipun cara tersebut dapat merugikan banyak pihak dan dihukumi haram oleh agama.

Tidak dapat dipungkiri, korupsi yang terjadi di negara ini telah menjadi rahasia umum bahkan mungkin dapat dianggap sebagai sebuah budaya yang turun-temurun. Korupsi ini tampaknya tidak saja menjadi masalah pada tingkat negara atau instansi, namun lebih kecil dari itu, yakni pada pribadi masing-masing orang dalam hal ini pelaku korupsi. Oleh karena itu, sekedar mengubah peraturan atau memperketat pengawasan saja tidak dapat menjamin tindakan korupsi ini dapat diberantas. Penyelesaian masalah ini haruslah kembali pada masing-masing individu. Membangun akhlakul karimah menjadi hal yang perlu untuk dilakukan oleh setiap individu, terkhusus bagi pihak-pihak yang bertugas melayani kepentingan orang banyak.

Dalam Islam, segala bentuk tekanan yang diberikan oleh manusia lain dalam rangka menguntungkan dirinya sendiri, tidak boleh sampai menyebabkannya berlaku zalim pada manusia lain bahkan sampai merampas hak milik orang lain. Sementara itu, pembenaran (rasionalisasi) atas tindakan curang yang dilakukan juga tidak dapat dibenarkan hanya karena minimnya imbalan yang diterima atas tugas yang diberikan. Untuk hal ini, diperlukan rasa ikhlas dan jujur pada diri masing – masing individu dalam menjalankan tugasnya.

Penanaman akhlakul karimah pada tiap individu bukan saja menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga, namun hal ini dapat terwujud dan termaksimalisasi jika negara ikut andil dalam proses pembentukannya. Kisah-kisah sahabat Nabi saw. yang menjadi penguasa dan pemimpin yang zuhud seperti Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Azis, Abdullah bin Umar, serta Sahabat Rasulullah saw. yang  lain nampaknya harus menjadi teladan bagi para pemegang kekuasaan di negeri ini. Setidaknya agar mereka mengetahui bagaimana seharusnya para pelayan publik bersikap atas dirinya, kedudukannya, serta amanah yang dititipkan kepadanya.
Wallahu'alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post