(pengajar di Lumajang, Jatim)
Akhir-akhir ini kaum transgender kerap mendapat perhatian. Pemerintah melalui Disdukcapil seluruh Indonesia bertekad memudahkan kalangan ini untuk memperoleh dokumen kependudukan. Demikian menurut Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh melalui rapat virtual Direktorat Jenderal Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kemendagri dengan Perkumpulan Suara Kita.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Perkumpulan Suara Kita, Hartoyo, mereka masih kerap menemui hambatan ketika mengurus layanan publik, terutama terkait administrasi kependudukan. Mungkin karena miskin dan minder, malu, atau hambatan lainnya. Akibatnya, mereka kesulitan mengurus pelayanan publik lain, seperti BPJS-Kes, atau sulit mendapat akses bansos. Padahal banyak di antaranya yang hidup miskin sebagai pengamen dan profesi lainnya. (pikiran-rakyat.com, 25 April 2021).
"Dukcapil wajib melayani mereka sebagai bagian dari WNI penduduk di Indonesia. Mereka makhluk Tuhan yang wajib kami layani dengan non diskriminasi dan penuh empati,” kata Zudan.
Namun begitu, Zudan menjelaskan bahwa di dalam KTP ini tidak akan ada keterangan jenis kelamin “transgender,” hanya ada dua pilihan jenis kelamin yaitu laki-laki/perempuan. Sedangkan untuk nama masih menggunakan nama asli bukan alias. Menurutnya, urusan mengganti nama dan ganti jenis kelamin hanya bisa dilakukan jika ada putusan dari pengadilan. (pikiran-rakyat.com, 27 April 2021).
Apa yang direncanakan oleh Ditjen Dukcapil untuk membuat e-KTP bagi transgender menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat. Ada kekhawatiran jika rencana ini direalisasikan, dapat menumbuhkan upaya yang mengarah pada pelegalan kaum LGBT. Sebab, tidak dijelaskan apakah akan ada perbedaan antara e-KTP transgender dengan e-KTP warga negara biasa. Apakah nantinya ada penanda khusus bagi e-KTP transgender?
Memang setiap warga negara harus didata, diberikan hak, dan dibantu mendapatkan identitas kependudukan. Akan tetapi seharusnya sama dengan warga negara yang lain. Tidak boleh ada penandaan bahkan satu huruf pun yang menjadi penanda bahwa pemilik e-KTP tersebut adalah transgender. Karena jika ini terjadi maka sama saja dengan mengakui keberadaan mereka.
Demikian juga pernyataan bahwa mereka dapat mengubah jenis kelamin dan nama jika putusan pengadilan membolehkan. Jika kasusnya seperti yang dialami Serda Aprilio Manganang, tentu bukan persoalan karena itu diluar kehendaknya sebagai manusia. Namun, transgender yang dimaksud Hartoyo adalah mereka yang ditakdirkan menjadi pria tetapi sengaja mengubah kodrat dengan mengganti jenis kelaminnya atau mengubah penampilan fisik menjadi waria.
Negara tidak boleh mendukung eksistensi kaum pelangi ini sebab bertentangan dengan budaya dan ajaran agama mana pun. Justru negara harus membantu mereka untuk kembali pada fitrahnya meluruskan penyimpangan mereka. Negara seharusnya mendorong tokoh agama untuk menerangkan bahwa transgender ini menyimpang dari fitrah serta mengajak masyarakat untuk mencegah terbentuknya komunitas tersebut.
Waria atau transgender termasuk di dalamnya LGBT itu adalah bentuk penyimpangan, termasuk penyakit mental, dan bukan takdir Tuhan, bukan pula HAM seperti yang dipropagandakan penganut paham liberal, pengusung kebebasan. Di dalam Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk negeri ini jelas mengharamkannya. Sebab, mereka melakukan perbuatan yang sama dengan kaum Nabi Luth AS, yaitu liwath atau hubungan sesama jenis yang telah diriwayatkan dalam Al-Qur’an. Islam juga mengharamkan laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, baik dalam hal pakaian maupun tingkah laku.
Rasullullah SAW bersabda: “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, beliau sampaikan sampai tiga kali.”
Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat para perempuan yang menyerupai laki-laki dan para lelaki yang menyerupai perempuan."
Bangsa ini tentu tidak ingin mendapatkan laknat karena membiarkan perbuatan maksiat, apalagi mengakui keberadaan mereka seperti warga negara lainnya. Negara beserta ulama, dan masyarakat bertanggung jawab mencegah perbuatan menyimpang ini. Serta membantu mereka yang sudah terlanjur menyimpang untuk bertaubat. Selain itu harus ada sanksi yang tegas sebagaimana dijelaskan dalam islam.
Jika negara memberikan perhatian dan peluang maka justru eksistensi kaum ini makin besar dan membiarkan mereka dalam kesesatan. Maka jangan sampai salah dalam memberikan perhatian. []
Post a Comment