Reshuffle Kabinet, Sebatas Akomodasi Politik Belaka?


Oleh: Yosi Eka Ummu Aisyah (Aktivis Muslimah
)


Dalam rapat Paripurna, DPR pada Jumat (9/4) menyetujui Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian, yang sebelumnya telah dibahas dalam Rapat Konsultasi Pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR pada 8 April 2021. Dilansir dari sindonews.com Presiden Joko Widodo mengusulkan penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Presiden Jokowi juga mengusulkan pembentukan Kementerian Investasi. Reshufle kabinet bukanlah barang baru pada era kepemimpinan jokowi. Sejak periode pertama, Presiden Jokowi pun telah melakukan lima kali perombakan atau reshuffle kabinet sampai saat ini.


Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa reshuffle yang dilakukan oleh jokowi hanya sebatas akomodasi politik belaka. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu meminta wacana reshuffle atau perombakan kabinet Presiden Joko Widodo tidak dilakukan sekadar mengakomodasi kepentingan politik tertentu. Syaikhu berharap, reshuffle dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan untuk kepentingan akomodasi politik, melainkan untuk membantu kerja presiden dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan. Senada dengan syaikhu, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, menyebut reshuffle kabinet dipakai Jokowi untuk mengakomodasi kepentingan politik.Meskipun reshuffle kabinet ini telah banyak dilakukan di era jokowi, pada faktanya tidak mampu membawa perubahan yang signifikan pada kemakmuran rakyat. Sehingga tidak aneh jika banyak pihak yang beranggapan bahwa reshuffle ini hanya sebatas akomodasi politik yang itu hanya menguntungkan pihak tertentu dan kepentingan partai penguasa. Demikianlah sistem sekuler kapitalis menjadikan menteri-menteri terpilih tidak lepas dari kepentingan para kapital bukan benar-benar untuk kepentingan rakyat.


Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Islam memandang jabatan adalah amanah sebagaimana sabda Nabi Rasulullah Muhammad SAW, “tidaklah seorang penguasa di serahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedang ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan syurga untuk dirinya.” (HR. Bukhori-Muslim).


Kekuasaan di dalam islam ditujukan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT.  Pendelegasian tugas negara haruslah diberikan kepada ahlu taqwa dan ahlu kifayah (orang-orang yang memiliki kapabilitas). Prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketaqwaan dan kafaah. Sehingga pemilihan pejabat negara merupakan perkara krusial karena berkaitan dengan nasib masyarakat.


Dalam Islam, pejabat negara akan dipilih dan diangkat oleh khalifah atau orang yang diberi kewenangan oleh khalifah berdasarkan syariah Islam. Islam memberikan panduan pokok bagi khalifah dan memilih para pembantunya agar yang terpilih adalah orang-orang yang amanah dan memiliki kredibilitas sesuai bidangnya. Menurut Syaikh Taqiyyuddin An-nabhani bahwa pejabat negara harus memiliki tiga kriteria penting yaitu al quwwah (kekuatan) dimana seorang pejabat negara haruslah memiliki fisik kuat dan amanah. Mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai pekerjaan. Kaidah ini menjadi penegas bahwa pejabat publik haruslah memiliki kredibilitas di bidangnya. At-taqwa (ketaqwaan) dan  al-rifq bi ar-raiyyah (lembut terhadap rakyat), sikap ini bukanlah pencitraan agar diangkat menjadi pejabat publik namun tercermin dari rekam jejaknya sehari-hari. Tidak ada bagi-bagi jatah kursi pejabat publik karena khalifah yang mengangkat para pejabat negara dan pembantunya maka khalifah yang berhak mencopotnya sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Kondisi tersebut bisa terwujud hanya jika syariat Islam di terapkan secara kaffah. Wallahu'alam bi shawab. 

Post a Comment

Previous Post Next Post