Setelah sebulan berpuasa dibulan ramadhan, hari yang dinanti tiba. Hari raya bagi seluruh kaum muslim di mana pun berada. Idul fitri adalah momen merayakan kemenangan. Menang melawan hawa nafsu. Menang melawan syetan. Menang melawan sikap kecenderungan dan prilaku menyimpang. Menang dalam menegakkan keadilan. Menang melawan kedzaliman. karena sebulan penuh kita digembleng, beribadah, bertobat dan mohon ampunan Allah Ta’ala. Diri ini pun makin bertambah takwa.
Idulfitri di Tengah Keterpurukan
Namun, sebagaimana Idulfitri sebelumnya di tengah sukacita, perayaan hari raya saat ini, duka masih tetap menyelimuti kita semua. Corona masih mengintai setiap insan manusia. Israel di sepuluh hari terakhir kembali mengirimkan rudalnya ke Palestina. Muslim di Xinjiang hidup terlunta-lunta dan selalu disiksa.
Rentetan penderitaan menghunjam kaum muslimin. Menyiksa lahir dan batin. Bukan hanya itu, pemikiran-pemikiran liberal pun mampu melemahkan kondisi umat Islam.
Isu pluralisme melalui teori moderasi Islam dimasukkan untuk mengotori pemahaman. Islamofobia sengaja disebar agar timbul benih-benih ketakutan dan permusuhan. Ide kesetaraan gender (feminisme), nasionalisme, dan demokrasi terus didengungkan agar kapitalisme tetap mencengkeram seluruh umat Islam.
Kehilangan Jati diri
Seluruh penderitaan yang kita rasakan, harusnya membangkitkan kesadaran. Bahwa kaum muslimin seakan kehilangan gelar khairu ummah. Sebutan umat terbaik tak lagi disandang oleh umat Islam. Yang ada hanya ada keterpurukan, penyiksaan, penghinaan, hingga keterbelakangan
Selain itu, hak-hak kaum muslim pun dirampas paksa. Hidup mereka dibayang-bayangi rasa takut. Kekayaan mereka direnggut oleh sistem korup. Ulama-ulama yang lurus dikriminalisasi. Hingga masyarakat pun tidak lagi bebas berpendapat karena terjerat undang-undang.
Semua itu telah menodai kesucian hari nan fitri. Kita tak bisa menikmati kemenangan sejati. Secara individu mungkin mendapatkannya, tapi kemenangan sebagai umat terbaik di hadapan umat lain, belum. Justru saat ini kita hidup dalam sistem sekuler yang jauh dari Islam.
Dan semua harus menyadari, akibat dari diterapkan sistem sekuler ini yang ada adalalah kerusakan dan kemaksiatan yang nampak ditengah tengah kita.
Di sisi lain, sesungguhnya Idul Fitri lebih layak dirayakan oleh Mukmin yang puasanya melahirkan takwa. Tentu bukan takwa yang pura-pura. Sekadar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Takwa yang sebenarnya (haqqa tuqâtih). Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam QS Ali Imran [3] ayat 102. Dalam bahasa sebagian ulama dinyatakan:
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَ لَكِنَ الْعِيْدَ لِمَنْ تَقْوَاهُ يَزِيْدُ
Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketakwaannya bertambah.
Salah satu definisi takwa dinyatakan oleh Imam al-Hasan. Kata Imam al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya, kaum yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa takut terjerumus pada apa saja yang telah Allah SWT haramkan atas mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan kepada mereka.
Alquran banyak mengungkap ciri orang-orang yang bertakwa. Demikian juga al-Hadis. Begitu pun yang dinyatakan oleh para Sahabat. Juga oleh banyak ulama dari generasi salafush-shalih. Menurut Imam Ali Ra, takwa adalah:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ، وَ الْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَ الْقَنَاعَةُ بِالْقَلِيْلِ، وَ الإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
Takut kepada Allah Yang Mahagung, mengamalkan Alquran yang diturunkan, puas dengan yang sedikit, dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi hari kepergian (ke akkirat).
Dengan demikian takwa memiliki empat unsur yaitu:
Pertama, Al-Khawf min al-Jalîl, yakni memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Orang yang bertakwa tentu selalu berhati-hati dalam hidupnya karena takut akan terjatuh pada segala perkara yang haram. Sebab setiap keharaman yang dilakukan pasti menuai dosa. Setiap dosa bakal mengundang murka dan siksa-Nya. Inilah yang ditakutkan orang yang bertakwa. Jika pasca puasa rasa takut terhadap murka-Nya ini selalu melekat dalam diri seorang Muslim maka dia layak bergembira di Hari Raya.
Kedua: Al-‘Amal bi at-Tanzîl, yakni mengamalkan seluruh isi Alquran yang telah Allah turunkan. Tentu dengan menerapkan semua hukumnya. Dengan melaksanakan dan menerapkan syariahnya secara kaffah. Penerapan syariah secara kaffah itu hanya bisa diwujudkan melalui kekuasaan yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Sistem tersebut oleh para ulama disebut Khilafah ar-Rasyidah.
Ketiga: Al-Qanâ’ah bi al-qalîl, yakni selalu merasa puas/ridha dengan karunia yang sedikit. Qanâ’ah akan melahirkan sikap zuhud terhadap dunia. Zuhud terhadap dunia akan melahirkan sikap wara’, yakni senantiasa berhati-hati terhadap dosa.
Keempat: Isti’dâd[an] li yawm ar-rahîl, yakni menyiapkan bekal untuk menghadapi ‘hari penggiringan’, yakni Hari Kiamat.
Sebagaimana diketahui, kedatangan Hari Kiamat bukanlah sesuatu yang lama. Kedatangannya sangat dekat. Seperti kedatangan hari esok. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (Hari Kiamat). Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah Mahaawas atas apa saja yang kalian kerjakan (QS al-Hasyr [59]: 18).
Menurut Imam ath-Thabari dan mufassir lainnya, ‘hari esok’ dalam ayat di atas tidak lain adalah Hari Kiamat. Bekal terbaik untuk menghadapi Hari Kiamat tidak lain adalah takwa.
Takwa tentu harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tetapi juga pada ranah masyarakat dan negara. Inilah yang boleh disebut sebagai “ketakwaan kolektif”. Ketakwaan kolektif ini hanya mungkin bisa diwujudkan dalam institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah. Institusi negara itu tidak lain adalah Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah inilah yang pernah dipraktikan secara nyata oleh Khulafaur Rasyidin ridwânulLâh alayhim dulu.
Selain wajib, kembalinya Khilafah adalah janji Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah Saw, sebagaimana sabda beliau:
ثُمّ سَتَكُوْنُ خِلاَفَةًعَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).
Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba.
Terakhir, marilah kita sama-sama berdoa kepada Allah SWT. Bermunajat penuh harap kepada-Nya. Semoga Allah SWT mengabulkan doa-doa kita. Allaahumma Aamiin.
Lina Herlina.
Cidawolong Bandung.
Post a Comment