Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Viral di medsos alasan
perempuan haid boleh puasa yang disampaikan oleh
seorang Ustad yang notabene pasti paham tentang ilmu agama, tetapi mengeluarkan
pandangan yang nyeleneh
dan menghina hukum syara. Pandangan nyeleneh
‘haid boleh puasa’ melukai hati masyarakat Muslim tidaklah bisa didiamkan.
Sangat
disayangkan mengapa pendapat tentang hukum syara bisa muncul berlenggang di negara yang mayoritas Muslim, sehingga
memunculkan polemik. Apakah harus menunggu muncul polemik di kalangan
masyarakat? Di mana peran negara menjaga
syariah? Bukankah di negara
demokrasi dalam UUD 45
pasal 29 negara menjamin agama yang
dianut warga negaranya?
Pengurus PBNU pun menanggapi pandangan nyeleneh tersebut. Ia menyatakan pendapat wanita haid boleh puasa
menyimpang dari ijma ulama. Perempuan
dilarang melaksanakan puasa Ramadhan saat datang bulan atau haid. Ketentuan itu
sudah dijelaskan dalam hadits
Nabi dan ijma atau konsensus ulama seluruh dunia. Menurutnya, ada hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Aisyah. Diceritakan Aisyah isteri nabi berkata, “Kami pernah
kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meg-qada shalat.” (HR Muslim).
Larangan
perempuan haid berpuasa itu
juga telah ditetapkan ijma ulama. Hal itu telah ada sejak zaman pengikut
sahabat Nabi. Kesepakatan
ulama menyatakan, orang haid tidak boleh berpuasa, haram berpuasa. Itu
dijelaskan juga di dalam kitab syarah muhadzab dari Imam Nawawai.
Maka, munculnya
pandangan wanita haid boleh puasa telah
menyimpang dari hukum syara. Ini menandakan abainya
negara melindungi dan menjaga syariat karena sistem yang dipakai negara saat ini bukan
sistem dari Sang Pencipta, tapi sistem demokrasi buatan manusia.
Pembiaran
dan kebebasan mengeluarkan pendapat yang merupakan jargonnya demokrasi
mendorong setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya masing-masing tanpa
melihat sesuai tidaknya dengan hukum syara. Bahkan dalam sistem demokrasi saat
ini negara mendorong liberalisasi syariah
dan menumbuhsuburkan pandangan menyimpang yang bisa menyesatkan umat. Astagfirullah.
Terpikirkah oleh kita bagaimana dengan anak
keturunan kita atau orang awam yang belum paham tentang hukum syar'i secara
utuh bila mengikuti ajaran atau pendapat pemahaman ilmu yang salah dan nyeleneh. Bukankah kita
diwajibkan untuk saling watawa saubil haqqi wa tawaa
saubis sabr. Saling mengingatkan dalam kebenaran-Nya. Bukankah seharusnya ini
adalah kewajiban negara yang melindungi rakyat untuk selalu berada di jalan yang diridha Allah. []
Post a Comment