Oleh: Irma Ummu Hilya (Aktivis Muslimah)
Sebuah pernyataan yang bersumber dari seorang Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam, Mahfud MD) cukup membuat jagat maya tersayat. Mengutip dari PikiranRakyat.com pada Sabtu, 1 Mei 2021, Mahfud MD mengatakan bahwa "Sekarang ini negara kita sangat koruptif, oligarki dan sebagainya. Tidak boleh kita terlalu kecewa."
Jika kita cermati kalimat diatas, bukankah hal itu secara tidak langsung telah menunjukkan bahwa negara kita berada dalam kehancuran. Koruptif dan oligarkis adalah pemandangan biasa dan lumrah. Kondisi bobrok tersebut, Seratus persen telah diakui oleh Menkopulhukam. Bahkan kita sebagai warga negara tidak boleh merasa kecewa. Lucu sekali bukan? Menyoal pernyataan yang sudah terlontar, tentu tindak koruptif dan oligarki bukanlah sebuah prestasi yang patut untuk dibanggakan. Tindakan tersebut adalah tindakan krimanilitas yang bejat dan kotor yang dapat menghancurkan negeri.
Korupsi semakin menghantui negeri pertiwi. Terbukti dari semakin banyaknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Korupsi terus meningkat pesat setiap tahunnya. Menurut Survei The Global Corruption Barometer Asia, menyatakan bahwa korupsi di pemerintahan merupakan perosalan besar yang masih membentuk lingkaran setan. Indonesia memiliki prosentase terbesar, yakni 92%.
Lalu institusi mana yang menjadi tempat tersubur untuk melakukan korupsi? Parlemen adalah lahan basah untuk penikmat cuan yang rakus dan serakah. Terbukti sebagian besar atau bahkan seluruh anggota parlemen terlibat dalam korupsi. Bahkan temuan yang menarik dan juga sudah menjadi tradisi di negara kita adalah bahwa masyarakat ditawari suap untuk ditukar dengan suara dalam pemilu. Belum lagi dana-dana dari sponsor atau cukong politik yang mendanai para calon wakil. Untuk mengembalikan dana tersebut yang sangat besar tidak bisa hanya mengandalkan gaji dari jabatan yang diraih. Maka jalan satu satunya adalah korupsi. Inipun menunjukkan bahwa pemerintahan dijalankan atas dasar kepentingan pribadi.
Terdapat sembilan laporan korupsi terutama di DKI yang diganti ditangani KPK. Tapi hanya satu yang masuk penyidikan. Telah putus urat malu para elite politik yang tak lagi punya rasa bersalah atas peristiwa hilangnya uang rakyat. Seperti rumah DP 0 rupiah, nyatanya hanyalah retorika politik belaka. Dibalik anggaran solutif dan bombastis demi kehidupan rakyat kecil, anggaran itu pun pada akhirnya masuk ke kantong kantong para pejabat negeri. Begitulah Demokrasi, semua anggaran itu "disunat" bahkan diselewengkan. Begitulah penyakit birokrasi dan politik di negeri ini.
Satu lagi, hasil audit BPK terbaru mencatat gubernur DKI telah melakukan pembayaran kepada FEOLT selaku promotor dan pemegang lisensi Formula E atas penyelenggaraan acara olahraga tersebut, senilai 983,1 Miliar pada tahun 2019-2020. Herannya, bagaimana mungkin anggaran sebesar itu bisa keluar tanpa ada masalah? Padahal menurut BPK penunjuk Jakpro yang merupakan BUMD selaku perwakilan pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam kegiatan Formula E melanggar peraturan pemerintah atau PP nomor 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah.
Begitu vulgar kesalahan dan penyjmpangan, tapi KPK diam. Bahkan rekomendasi BPK hanya meminta sang gubernur untuk mengevaluasi program dan mencari tahu siapa saja yang terlibat. Kasus inipun dibiarkan begitu saja. Tidak ada yang bertanggungjawab. Bahkan dijadikan sebagai kompromi politik. Maka sadarkah kita bahwa negeri kita ini sedang berada dalam kehancuran secara sistematis?
Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai masih stagnan. Padahal korupsi semakin meningkat setahun terakhir. Strategi nasioanal pencegahan korupsi juga belum dirasakan publik. Revisi UU KPK diperkirakan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada penilaian. Hanya dalam kurun waktu 11 hari KPK menangkap 4 pejabat publik. 25 Nopember 2020 Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap atas dugaan suap perizinan ekspor benih lobster. Dua hari berselang, Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna kena OTT KPK. Ajay ditetapkan sebagai tersangka penerima suap terkait dengan perizinan pengembangan rumah sakit di Cimahi. 3 Desember 2020 KPK menangkap Bupati Banggai Laut Sulawesi Tengah Weny Bukamo yang diduga menerima suap untuk kepentingan kampanye kemenangan Pilkada. Kemudian 4 Desember 2020 KPK menangkap pejabat pembuat komitmen pada program Bansos di Kementrian Sosial. Penangkapan ini menjerat Menteri sosial Juliary P. Batubara menjadi tersangka dugaan suap Bansos Covid-19 sebesar 17 Miliar.
Heran bercampur geram, itulah yang dirasa ketika melihat pembiaran kelakuan buruk yang dilakukan oleh pemimpin Jakarta. Prioritas program, target dan hasil yang tak jelas. Namun penghamburan uang terus berjalan. Tanpa adanya pertanggungjawaban. BPK tak memberi sanksi, sementara KPK seperti biasa tak punya gigi. Suara rakyat hanya suara kecil yang terdengar lirih. Sampai kapan penyelewengan dan korupsi di negeri dibiarkan begini?
Lagi. Korupsi Jiwasraya yang ternyata kejamnya luar biasa. Kebanyakan korbannya mencapai puluhan ribu pensiunan. Karena kasus ini, pensiunannya dipotong. Terbayang bukan, jumlah pensiunan yang tak seberapa, kena potong hampir 75% seumur hidup. Para pensiunan diberikan opsi terkait hal ini. Namun sayang seribu sayang, kedua opsi tersebut tak ada yang menguntungkan. Pertama, biaya pensiunan tak dipotong tapi yang didapat hanya berlaku sampai 6 tahun saja. Kedua, dipotong 75%. Inginnya mengadu kepada pak Erik atau pak Presiden, namun juga tak akan ada pengaruhnya sama sekali. Karena pasti opsi yang diberikan sudah dalam bentuk peraetujuan mereka.
Inilah efek korupsi yang long lasting dan efeknya langsung ke banyak orang. Efeknya menurun ke anak - cucu hingga ke generasi berikutnya. Mereka yang tadinya financial able, malah menjadi sandwich generation. Menanggung kesalahan pemerintah seumur hidup. Kecewa? Pasti. Tapi kita tidak boleh hanya merasa kecewa. Kasus korupsi saat ini bukanlah persoalan individu, melainkan persoalan sistemik. Akar masalahnya adalah penerapan sistem demokrasi dan korporatokrasi. Karena kerusakan sistem demokrasi bukan hanya ditataran implementasi namun sistemnya sendiri cacat sejak lahir akibat tegak diatas pemahaman sekulerisme dan kebebasan yang tidak mengenal prinsip halal haram.
Sistem sekulerisme inilah yang menafikkan peran agama dalam kehidupan. Khususnya agama islam yang berkeyakinan bahwa setiap sisi kehiduoan termasuk pola pikir dan pila sikap manusia tidak lepas dari aturan sang pencipta. Akhirnya sistem mekanisme yang terbentuk mengizinkan sekelompok manusia membuat aturan dan kesepakatan bersama, sebagai jalan memuluskan kepentingan mereka. Terutama bagi mereka yang disokong dana banyak dan akhirnya bisa duduk di kursi kekuasaan.
Berbeda dengan sistem pemerintahan islam, yaitu khilafah. Penerapan sistem ini akan menutup jalan-jalan keburukan termasuk korupsi di pemerintahan. Sebab sistem ini tegak di atas landasan keimanan kepada Allah SWT. Keimanan ini akan menjadi landasan utama dalam menjalani kehidupan baik dalam konteks individu, berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara. Oleh karena itu aturan islam sejatinya bebas dari kepentingan apapun dan dalam penerapannya ada jaminan kesejahteraan keadilan dan kemananan bagi setiap individu rakyat. Ini cukup menekan perbuatan curang seperti korupsi. Ditambah masyarakat dalam sistem islam hidup dengan budaya amar ma'ruf nahi mungkar. Budaya ini akan menciptakan suasana keimanan yang tinggi dan pada saat yang sama setiap potensi penyimpangam akan terjaga sejak dini. Kalaupum ada pejabat yang korup itu adalah permasalahan individu bukan permasalahan sistematik seperti korupsi dalam sistem demokrasi.
Negara khilafah akan menerapkan sanksi tanpa tebang pilih. Bentuk sanksi dalam islam dijamin akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi warning bagi mereka yang hendak coba-coba melakukan pelanggaran (jawazir). Selain itu, fungsi sanksi dalam islam sebagai penebus dosa di akhirat (jawabir). Korupsi dalam sistem islam akan dikenai sanksi ta'zir karena perbuatan ini termasuk tindak pidana yang merugikan negara. Sanksi yang didapatkan akan sesuai level korupsi yang diperbuat dan harta yang didapatkan dari korupsi termasuk harta ghulul (harta rampasan/harta yang disita) yang akan dimasukkan kedalam lembaga keuangan negara yaitu baitul mal yang nantinya akan difungsikan untuk keperluan kaum muslimin. Hanya saja semua prinsip sistem islam tidak mungkin mampu diwujudkan dalam sistem demokrasi. Hanya dalam sistem Islam kaffah yang diterapkan dalam naungan institusi khilafah islamiyah yang mampu mewujudkannya. Wallahu'alam bi shawab
Post a Comment