Mudik No, Materi Yes: Inkonsistensi Kebijakan di tengah Pandemi


Oleh: St. Hartanti

Dilansir dari detiksultra.com, sejak tanggal 6 Mei lalu, aktivitas mudik lebaran lintas kabupaten/ kota, khususnya di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara resmi dilarang. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Sultra, Hado Hasina bahwasannya, “bagi yang ingin mudik lebaran, sebaiknya mengurungkan niatnya. Sebab mudik lebaran tahun ini ditiadakan alias dilarang, baik lintas provinsi, maupun kabupaten/kota. Hal demikian berlandaskan pada surat edaran yang dikeluarkan Satgas Penanganan Covid-19 Nasional, nomor 13/2021 tentang peniadaan mudik pada bulan Ramadhan dan Libur Lebaran Idul Fitri 1442 H, selama periode 6-17 Mei 2021 (Senin, 03/05/2021)

Kebijakan ini juga telah diberlakukan pada sejumlah wilayah, khususnya di kota kota besar, walaupun pelaksanaannya belum maksimal. Larangan mudik diwarnai sejumlah pelanggaran dan protes dari masyarakat. Hal ini dikarenakan pelarangan mudik yang dimaksudkan sebagai salah satu upaya pencegahan penularan wabah Covid-19 dinilai inkonsisten, penuh ironi bahkan paradoks.
Di satu sisi pemerintah melarang bahkan menindak tegas para pemudik yang ingin merayakan lebaran bersama keluarga meskipun tetap menerapkan protokol kesehatan, namun di sisi lain pusat belanja yang dipadati penduduk tidak dilarang ataupun dibatasi. Padahal, keduanya sama sama kerumunan. Belum lagi, meningkatnya penyebaran pandemi lebih banyak menyalahkan rakyat, ketimbang melihat pada aspek kebijakan. 
Kebijakan yang dikeluarkan nyatanya simpang siur. Tak hanya membuka akses mall dan pusat perbelanjaan lainnya, tetapi juga membuka luas akses pariwisata bahkan memberi izin kepada WNA (warga negara asing) masuk ke negeri ini disaat larangan mudik mulai berlaku.

Tempo.co pada 6 Mei lalu mengungkapkan, 171 WNA asal China berdatangan via bandara Soekarmo-Hatta ditengah larangan mudik berjalan. Fakta yang sama juga diungkap oleh Sindo.news. 
Wajar bila kebijakan ini disebut kebijakan berbasis materi yang lebih mengutamakan ekonomi dibanding kemaslahatan rakyat. Demi mendongkrak ekonomi agar tidak mandeg, negara seolah setengah hati menetapkan aturan ataupun mengeluarkan kebijakan. Terlebih bila kita melihat pada indeks korban wabah Covid-19 yang terus meningkat, aturan untuk penanganan wabah lebih mengarah pada pemulihan ekonomi. Akibatnya, semua ini berdampak pada kurangnya kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan, dikarenakan kebingungan masyarakat akan aturan-aturan yang saling berbenturan serta sikap tebang pilih pemerintah. Hal ini justru melahirkan persoalan baru dan sikap abai masyarakat terhadap ancaman virus ini.

Oleh karena itu, membludaknya kerumunan menjelang lebaran dan potensi penyebaran virus tidak bisa dikembalikan pada kesadaran individu saja, melainkan membutuhkan kebijakan selaras dan konsisten. Bila rakyat dilarang mudik, maka semua akses yang menyebabkan kerumunan dan berpotensi meningkatkan penyebaran harus dibatasi, bahkan ditutup dengan tetap memperhatikan kebutuhan rakyat. Sayangnya, hal ini memang sulit didapatkan diera cengkaraman kapitalisme hari ini.

Dalam sistem kapitalisme, orientasi kebijakan berputar pada kepentingan dan keuntungan materi para kapitalis. Penguasa yang dihasilkan dalam sistem ini adalah penguasa yang dimodali para kapital. Akibatnya, kebijakan yang lahir selaras dengan keinginan kapitalis yang membacking-nya. Lagi lagi istilah perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha benar adanya. Tentu saja, berbeda dengan sistem islam. 
 
Solusi Kebijakan Berbasis Syariah

Islam jelas mengeluarkan kebijakan berbasis syariah yang mementingkan kemaslahatan umat. Kepentingan umat menjadi prioritas utama. Bila melihat fakta hari ini, maka aturan untuk penanganan wabah lebih diutamakan ketimbang pemulihan ekonomi. 
Dalam pemerintahan Islam, seorang pemimpin atau penguasa adalah periayah umat, yakni memelihara semua urusan umat dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan dan keamanan, termasuk di dalamnya menyelamatkan rakyatnya dari ancaman pandemi.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan telah memberikan contoh dalam penanganan wabah yaitu memisahkan orang yang sehat untuk menyingkir sehingga tidak tertular. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah ï·º  yang melarang untuk mendekati wilayah yang terkena wabah dan tetap tinggal jika terjadi wabah di wilayahnya. 
Beliau bersabda: "Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu." (HR Bukhari)
Lockdown diberlakukan sejak wabah mulai terdapat disatu wilayah tertentu. Lockdown tidak diberlakukan setelah wabah merebak kemana mana, sebagaimana hari ini. 

Sejarah juga telah mencatat apa yang pernah dilakukan oleh Amr bin Ash saat menjadi gubernur Syam di masa Khalifah Umar, ketika terjadi wabah Thaun di kampung kecil Amawas, beliau pun menyuruh penduduk yang sehat pergi menyingkir ke bukit-bukit. Kebijakan ini dikenal dengan isolasi atau lockdown saat ini, hingga berhentilah wabah dengan cara seperti itu.
Adapun soal kebutuhan masyarakat akibat lockdown atau isolasi, kita bisa melihat bagaimana Khalifah Umar bin Khathab ra dengan sigap bertindak ketika terjadi krisis. Beliau langsung mengirim surat kepada gubenurnya di berbagai daerah yang kaya untuk mengirimkan bantuan. Karena dorongan ukhuwah dan riayah pemerintah pusat yang bagus maka para gubernur tersebut dengan ringan memberikan bantuan, bahkan berlebih.
Dengan demikian, perekonomian tetap lancar melalui distribusi silang. Belum lagi, kekayaan alam dikelola oleh negara dengan berlandaskan pada syariat sehingga kebutuhan rakyat disaat lockdown dan isolasi tetap terpenuhi dengan baik. 

Demikianlah gambaran dalam Islam, bagaimana seorang Khalifah bertanggung jawab penuh melindungi rakyat ketika terjadi wabah. Bagi seorang pemimpin, mengurusi urusan rakyat adalah tanggung jawab besar, tidak hanya di hadapan manusia, akan tetapi tanggung jawab terbesarnya adalah dihadapan Allah swt kelak. Begitupun rakyat, wajib mematuhi perintah dan percaya kepada pemimpinnya karena kesadaran ruhiyah yang dimiliki sebagai hamba yang bertaqwa. Dan ini hanya diperoleh bila negara diatur dengan syariat Islam. 
Wallahu a'lam bis showab

Post a Comment

Previous Post Next Post