Oleh: Nurhayati
Ibu Rumah Tangga di Kota Depok
Ramadhan bulan mulia baru saja meninggalkan kita namun telah memberikan berbagai bentuk pembelajaran yang bisa kita petik darinya. Salah satu pembelajarannya untuk mengikis kecintaan kita kepada dunia/hubbud dunya.
Kita bisa melihat bagaimana kaum Muslim yang berpuasa meninggalkan kesenangan dunia, memilih menderita menahan haus dan lapar demi melaksanakan titah Allah SWT. Di saat yang lain bersenang-senang mengumbar nafsu perut dan syahwat, kita diberikan pelajaran untuk mengikis kecintaan kita kepada dunia dengan ibadah saum/puasa.
Sejatinya, sudah menjadi fitrah manusia memiliki kecenderungan mencintai dunia. Dalam diri manusia ada naluri mempertahankan diri yang salah satu manifestaasinya keinginan untuk memiliki segala sesuatu yang akan menjadikan dirinya bisa diakui keberadaannya. Keinginan untuk dihargai, dihormati, dielu-elukan dan dipuji oleh orang lain. Wujud dunia yang dicintai manusia bisa berbentuk harta kekayaan, anak-istri, jabatan, tahta, popularitas, atau yang lainnya.
Dalam Al-Qur’an Surah Al-Imran ayat 14 dijelaskan yang artinya,“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang, itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Sekarang mengapa kecintaan kepada dunia harus dikikis? Karena kecintaan kepada dunia jika terus berkecamuk dalam hati manusia, niscaya akan menghalanginya dari ibadah kepada Allah SWT dan berjihad di jalan-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS al-Munafiqun ayat 9).
Kecintaan kepada dunia pun harus dikikis karena akan menjadi penyebab lemahnya kaum Muslimin. Dalam hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda “Akan datang suatu masa di mana kaum Muslimin lemah tidak berdaya di hadapan musuh-musuhnya, saat itu kaum Muslimin bagaikan makanan pada nampan yang dikerubuti oleh kaum musuh. Kaum Muslimin saat itu sangat banyak namun lemah bagaikan buih, musuh tidak merasa gentar ketika berhadapan dengan mereka penyebabnya kaum Muslimin memiliki penyakit Wahn yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati’ akan dicabut rasa takut dari musuh-musuh kalian, karena kecintaan kalian pada dunia dan takutnya kalian akan kematian.”
Diperkuat pula dari kisah pada Perang Uhud. Waktu itu kaum Muslimin kocar-kacir dikalahkan oleh musuh. Penyebabnya karena pasukan pemanah yang ada di atas Bukit Rumat meninggalkan posisinya, padahal Rasulullah telah berpesan agar mereka tetap pada posisinya apapun yang terjadi sampai diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk turun. Namun karena mereka melihat kaum Muslimin yang berada di bawah bukit sedang sibuk memperebutkan harta rampasan perang, maka mereka lupa akan pesan Rasulullah dan turun bergabung dengan kaum Muslimin yang lain. Maka hal ini dimanfaatkan oleh pasukan musuh untuk melancarkan serangan yang datang dari arah belakang kaum Muslimin, sehingga mereka terdesak mundur dan mengalami kekalahan. Cukuplah peristiwa ini dijadikan sebagai ibrah atau pelajaran bagi kita.
Dari kisah di atas, kita akan tahu cara mengikis cinta dunia dalam diri kita sehingga tidak menjadi penghalang ibadah dalam berjuang di jalan Allah. Sejatinya, sebagai seorang Muslim senantiasa menjadikan keridhaan Allah sebagai tujuan hidup, maka haruslah mengetahui akan bahaya cinta dunia yang akan menghantarkan kita kepada kenikmatan sesaat, yang kunjung tidak ada puasnya dan membuat kita lupa dan lalai.
Kita juga harus mengetahui hakikat dunia dibandingkan dengan akhirat. Kehidupan dunia hanya sekadar permainan dan senda gurau semata. Kenikmatan dunia adalah kenikmatan yang sedikit, kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu, sementara dan kesenangan sesaat.
Namun kenyataannya, di tengah kehidupan yang didominasi sistem kapitalis sekuler saat ini yang materialistis, akan sangat sulit mengikis kecintaan terhadap kehidupan dunia dari diri kita. Selain kesadaran itu timbul dari diri kita yang menyadari hakikat dunia menurut Allah SWT saja, kita juga butuh suasana yang mendukung hal tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Jika suasana dan lingkungan masyarakat masih didominasi paham materialisme di segala bidang, sepertinya hanya orang-orang yang hebat imannya saja yang tidak akan terbawa arus materialistis yang sangat deras menyapu relung-relung kehidupan kaum Muslimin saat ini. Sementara bagi orang-orang yang labil imannya, sudah pasti akan mudah terbawa, terhanyut bahkan tergerus ke dalam suasana matérialistis yang menyilaukan mata ini.
Oleh karenanya mutlak diperlukan sebuah peradaban yang tidak materialistis, yakni sebuah sistem yang bisa memosisikan dunia pada tempatnya. Mutlak juga dibutuhkan sebuah kekuatan yang bisa mengondisikan dan mengubah suasana masyarakat agar tidak terseret dan didominasi paham materialisme, sehingga tujuan dari kehidupan sebagai makhluk yakni meraih ridha Allah dapat tercapai.
Dan peradaban itu adalah peradaban Islam yang telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW yang telah terbukti mendominasi dunia ini selama hampir 14 abad lamanya. Tiada lain tiada bukan, kehidupan yang berada di bawah naungan syariah Islamiyah. Wallahu ‘alam bishshowwab.[]
Post a Comment