LARANGAN MUDIK: TIMBANGAN MASLAHAT ALA SISTEM KAPITALISME


Oleh: Anggi Nuria Rahmawati 

Masih terasa suasana idul fitri 1442 H di tengah masyarakat Indonesia. Ramadhan dan idul Fitri kali ini banyak hal yang berbeda, terutama dengan kehadiran makhluk kecil utusan Allah SWT yakni Covid-19 ke tengah-tengah manusia. Ramadhan dan idul fitri 1442 H ini merupakan kali ke-dua kaum muslim menjalaninya dengan dengan kehadiran Covid-19 . Salah satu momen menggembirakan dan mungkin bisa dikatakan tradisi bagi kaum muslim di menjelang idul fitri adalah mudik. Namun kali ini momen tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh sebagian kaum muslim di Indonesia karena adanya larangan mudik dari pemerintah. 


Larangan mudik tersebut tertuang dalam Adendum Surat Edaran Satuan Tugas Penanganan (Satgas) Covid-19  Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idulfitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19  Selama Bulan Suci Ramadan 1442 Hijriah. Belum sepekan turun larangan mudik, turun lagi aturan baru. Pemerintah melalui Satgas Penanganan Covid-19  memutuskan untuk memberlakukan pengetatan mobilitas Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) menjelang masa peniadaan mudik pada 6—17 Mei 2021. Pengetatan dibagi dua waktu. Pertama, periode H-14 menjelang masa peniadaan mudik (6—17 Mei 2021) berlaku tanggal 22/4/2021 sampai 5/5/2021. Kedua, periode H+7 pascamasa peniadaan mudik (6—17 Mei 2021), berlaku pada 18—24 Mei 2021.


Rakyat bukan hanya dibuat bingung dengan rentang larangan mudik yang berubah-ubah, tetapi juga bingung terhadap tidak kompaknya kebijakan pejabat satu dengan yang lain. Presiden melarang mudik, tetapi Wapres meminta dispensasi pengecualian larangan mudik untuk para santri. Gubernur Jatim pun membolehkan santri asal Jatim mudik Lebaran.


Alasan yang mengemuka mengenai diterapkannya larangan mudik, adalah untuk mencegah penyebaran pandemi yang masih tinggi. Juga adanya kekhawatiran terjadi situasi darurat seperti yang terjadi di India, yang kondisinya saat ini begitu memprihatinkan. Sementara di Indonesia, ada sekitar tujuh juta warga yang akan mudik yang bisa menjadi rantai penularan.


Disatu sisi pemerintah melarang mudik dengan alasan mencegah penularan Covid-19 , tetapi disisi lain pariwisata masih tetap berjalan padahal menurut pandangan para ahli epidemiologi. Misalnya ahli epidemologi dari Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono menilai, seharusnya tempat wisata ditutup untuk mencegah penyebaran Covid-19. Sebab, menurut dia, jika tempat wisata tidak ditutup, masyarakat akan tetap pergi berlibur di tengah pandemi dan akan membuat lonjakan kasus Covid-19.


Dengan tetap dibukanya tempat wisata, bahkan sampai mendorong masyarakat mendatanginya, ditambah lagi fakta-fakta yang ditemukan dilapangan banyak sekolah umum yang masih melaksanaakan pembelajaran secara daring sedangkan tidak sedikit pula pusat-pusat perbelanjaan dan pasar yang tetap dibuka benar-benar menunjukkan pemerintah kurang serius dan tidak konsisten dalam menangani kasus penularan Covid-19 ini. Pembukaan tempat wisata di tengah pandemi begitupun pusat-pusat perbelanjaan juga menunjukkan kelemahan pemerintah dalam mencari solusi pengentasan keterpurukan ekonomi di tengah pandemi.


 Sebenarnya, keterpurukan ekonomi dunia termasuk Indonesia bukan dimulai saat pandemi melanda. Tapi jauh sebelum ada pandemi, sistem ekonomi kapitalisme yang menguasai dunia hari ini mempunyai cacat bawaan yang akan mengalami krisis berulang. Sistem ekonomi kapitalisme lah yang menjarah berbagai kekayaan alam dunia ketiga, memiskinkan mereka; dan ketika pandemi tiba, ekonomi pun tersungkur tak berdaya. Hingga seperti Indonesia yang melimpah kekayaan alamnya kini menggantungkan hanya pada sektor pariwisata untuk bangun dari keterpurukan ekonomi.


Hal itu sangat jauh berbeda dengan bagaimana islam memandang persoalan wabah dan mempertahankan kestabilan ekonomi. Islam sebagai mabda yang rahmatan lil ‘alamin, memiliki perspektif tersendiri tentang pengurusan urusan umat, baik saat pandemi maupun kondisi normal. Dengan konsep ini, sungguh terbukti peran pemerintahan Islam (Khilafah) sebagai junnah (perisai, pelindung) bagi warganya. Rasulullah SAW bersabda,

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya…” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Pemerintah Khilafah menyelenggarakan sistem pengaturan kehidupan yang sistematis dan tepat sasaran. Khilafah memberikan legalitas payung hukum penanganan pandemi berdasarkan ajaran Nabi SAW., Khilafah menerapkan karantina wilayah (lockdown) bagi kawasan zona merah. Melakukan proses isolasi serta pengobatan dan perawatan terbaik bagi yang sakit, sampai mereka sembuh. Serta menjamin warga yang sehat, agar jangan sampai tertular. Khilafah memfungsikan jalur-jalur pendapatan dan belanja negara tanpa mekanisme repot, tumpang tindih regulasi, bisa meminimalisasi utang (swasta dan luar negeri), hingga alih-alih rawan korupsi; baik saat pandemi maupun tidak.


Kesatuan koordinasi di bawah perintah Khalifah bukanlah bentuk otoritarian sebagaimana yang ditudingkan Barat selama ini. Kesatuan tersebut adalah bentuk kesatuan koordinasi, agar penyelenggaraan hajat rakyat dapat direalisasikan dengan sebaik-baiknya. Tanpa topeng pencitraan apalagi harus rawan klarifikasi akibat buruknya koordinasi antar instansi dan institusi.


Standar benar-salah, halal-haram, baik-buruk, hingga terpuji-tercela hanyalah hukum syariat Islam semata-mata. Takut akan dosa maupun berani karena benar, juga dilandaskan pada hukum syariat. Bukan karena hawa nafsu kekuasaan manusia. Yang dengan demikian, perselingkuhan diksi hingga ekonomi memanfaatkan momentum keprihatinan umat di tengah wabah, dapat jauh-jauh dihindari. 

Post a Comment

Previous Post Next Post