Oleh: Nuraminah, S.K.M
Indonesia sudah menjadi salah satu negara terkorupsi dunia yang tentunya sangat memilukan. Meskipun saat ini sudah didirikan lembaga anti korupsi yang baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang secara gencar memberantas para koruptor, akan tetapi korupsi yang sudah berubah menjadi budaya ini terasa sangat sulit untuk dihentikan dan diberantas.
Silih berganti kasus korupsi seolah tiada henti. Publik tentu belum lupa terungkapnya kasus Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara hingga 37 triliun, juga kasus korupsi Asabri. Ibarat sudah mendarah daging, budaya korupsi masih merajalela pada tubuh anak negeri. Tak terkecuali kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam sebuah konferensi virtual, Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, dalam sebuah survei LSI, didapati banyak PNS yang tidak mengetahui terjadinya korupsi di instansinya bekerja. Riset mendapati, sebanyak 39,2 persen PNS sama sekali tidak mengetahui dan 30,4 persen kurang tahu terjadinya korupsi di instansinya. Itu artinya sebanyak 69,6 persen kurang tahu/sama sekali tidak tahu (republika.co.id, 18/04/2021).
Sementara itu, Hasil survei LSI menyebut ada lima tempat atau bagian paling korup di instansi pemerintah. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan bahwa kelima tempat tersebut adalah pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan, serta bagian personalia.
Dalam sistem sekularisme kapitalistik saat ini, merupakan hal wajar bila korupsi semakin menjamur, seolah mustahil untuk menghentikannya. Mengingat keberadaan sistem yang memang memfasilitasi hal tersebut terjadi. Dari biaya hidup yang semakin hari semakin mahal sedang pemasukan tak sebanding kebutuhan, sehingga bila iman tak kuat menahan godaan, yang haram pun akan disikat dengan sadar atau tidak.
Dalam sistem sekuler, korupsi adalah problem sistemik. Namun, solusi yang diambil bersifat parsial seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem.
Islam merupakan agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik hubungan manusia dengan dirinya sendiri (habluminafsi), hubungan dirinya dengan Allah (habluminallah) hingga dirinya dengan sesama manusia lainnya (hablumminannas).
Korupsi dalam dimensi suap atau risywah di dalam pandangan hukum Islam adalah perbuatan yang tercela dan juga menjadi dosa besar dan Allah sendiri juga melaknatnya.
Saraqah atau pencurian dilihat dari etimologinya memiliki arti melakukan sebuah tindakan pada orang lain dengan cara sembunyi. Namun, menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian diartikan sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi dalam arti tidak diketahui pemiliknya.
Islam memandang korupsi sebagai perkara yang haram untuk dilakukan. Islam telah memberikan batasan jelas terhadap harta yang boleh dimiliki oleh seorang aparatur negara, yakni hanya boleh menerima gaji yang sesuai pekerjaannya dan telah disepakati. Maka, harta yang diperoleh selain gaji tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan oleh syara’ dianggap sebagai harta gelap atau ghulul. Bahkan Islam melarang seorang aparatur negara mengambil manfaat pribadi dari wewenang yang dimilikinya.
Pelaku ghulul atau korupsi akan dibelenggu atau akan membawa hasil dari korupsi di hari kiamat seperti yang ditunjukkan pada ayat ke-161 Surat Ali Imran dan juga hadis ‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan dalam hadis Abu Humaid as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah), yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”
Hanya sistem Islam (khilafah) yang mampu atasi problem kronis korupsi. Islam akan menyelesaikan permasalahan umat dengan cepat, tegas dan sesuai hukum syara’.
Tuntutan untuk menegakkannya bukan sekadar seruan biasa, tetapi sebuah kewajiban yang menempati posisi tinggi sebagai taj-al furdl, mahkota kewajiban. Tidak akan sempurna pelaksanaan berbagai kewajiban tanpa kehadiran khilafah, karena khilafah lah satu-satunya institusi negara yang akan melaksanakan syariat Islam secara kafah.
Maka, yang dibutuhkan hari ini adalah realisasi penerapan syariah kafah. Menunda penegakkannya, hanya akan semakin menyengsarakan manusia di seluruh dunia. Taat sempurna dengan tegaknya khilafah.
Wallahua'lambishshawab.
Post a Comment