Pengasuh Majelis Taklim dan Member AMK
Virus Covid-19 masih terus menghantui negeri ini. Untuk menghentikan masifnya virus
menjelang idul fitri tahun ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik. Anehnya, larangan mudik ini tidak satu kata di antara para pemangku jabatan. Fakta ini menunjukkan buruknya komunikasi di antara mereka, padahal ini menyangkut hak hidup dan mati rakyatnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi melarang mudik lebaran pada tahun ini. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Semua transportasi akan dibatasi sepanjang 6-17 Mei 2021. (kompas.com, 8/4/2021)
Hal ini, berbeda dengan kebijakan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, yang meminta adanya dispensasi bagi santri untuk pulang ke rumah saat lebaran, artinya ada permintaan santri tidak dikenakan aturan larangan mudik sebagaimana masyarakat umum lainnya. (cnbnindonesia.com, 26/4/2021)
Pernyataan Wapres ini, mendapat tanggapan dari Pengamat Transportasi, Joko Setijowarno, yang menilai bahwa permintaan ini dinilai aneh, mengingat semua orang dari lapisan masyarakat apapun, baik pejabat, masyarakat termasuk santri memiliki peluang yang sama dalam penyebaran Covid-19.
"Jika pemerintah terlalu banyak memberikan dispensasi, kesannya pemerintah tidak serius untuk mengurangi penyebaran Covid-19 di saat mudik. Banyak pihak sudah sepakat, sampai-sampai pengusaha bus yang terdampak besar mau mentaati pemerintah. Justru sekarang tiba-tiba ada permintaan dispensasi dari penguasa."
Bagaimana pandemi akan berakhir jika kebijakan penguasa tidak satu kata. Larangan mudik dibarengi dengan pembukaan tempat pariwisata juga merupakan faktor yang terjadi saat ini. Perputaran ekonomi dijadikan alasan, sementara keselamatan rakyat menjadi taruhannya. Faktor ini, akan semakin menggerus kepatuhan publik terhadap aturan dan menimbulkan persoalan baru. Serta semakin terlihat buruknya komunikasi di antara para penguasa.
Jika kebijakan penguasanya masih tebang pilih, bahkan tidak satu suara, dapat dipastikan tidak akan mampu menyelesaikan masalah. Karena aturan yang diambil hanya asas manfaat bagi segelintir orang saja tanpa memperdulikan kemaslahatan rakyat.
Sebuah keniscayaan, saat ini diperlukan sebuah sistem yang dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Sistem yang senantiasa mengurusi rakyat dan memperhatikannya dengan sepenuh hati. Sistem ini, hanyalah sistem Islam di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang akan menerapkan hukum-hukum Islam secara kafah.
"Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari kiamat." (HR. Bukhari).
Hanya sistem Islam yang akan memberikan kepastian hukum sebagai pengambilan kebijakannya. Para pemimpinnya tidak mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dari pemberlakuan aturan tersebut. Pengeluaran kebijakan semata untuk menjalankan amanah yang ada di pundaknya, yakni keberlangsungan hukum syara secara sempurna hingga mampu mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Semoga fakta karut marutnya kebijakan rezim saat ini semakin menyadarkan umat bahwa sistem kapitalisme adalah biang kerok dari segala kerusakan saat ini. Kemudian akan mendorong mereka menuntut perubahan ke arah sistem yang diridai Allah Swt. yaitu sistem khilafah yang terbukti selama 13 abad menjadi sebuah peradaban yang agung.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment