Penulis dan Pemerhati Politik
Indonesia terkenal sebagai negara yang santun, terbuka dan memiliki nurani tinggi. Terbukti, Indonesia selalu hadir dalam moment kemanusiaan dengan menggalang dana untuk sekedar meringankan beban sesama, tak terkecuali Palestina.
Sayangnya, aksi rakyat, selama ini tak diimbangi dengan sikap dan keputusan pemerintah, dalam hal ini Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Lestari Priansari Marsudi yang menolak atau memberikan pilihan "Tidak" saat pemungutan suara di Sidang Umum PBB terkait resolusi pelaksanaan Tanggungjawab Untuk Melindungi (Responsibility To Protect) atas situasi kejahatan yang tergolong amat serius di Palestina, Myanmar dan Suriah, terutama kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hal inipun disayangkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, padahal nyata melanggar HAM (Hak Asasi Manusia) berat, sebagaimana diatur dalam UU No. 26/2000. (Tempo.co, 20/5/2021).
Perlunya komitmen masyarakat dunia untuk mencegah dan menangani kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida, dan pembersihan etnis dengan ditandai disetujuinya The Responsibility to Protect (R2P) oleh semua negara anggota PBB pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dunia 2005 lalu. Namun Indonesia memberikan keputusan yang memalukan dan bisa dikatakan hilangnya nurani. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Sekularisme Matikan Nurani
Sekularisme adalah suatu sistem yang memisahkan agama dari segala aspek kehidupan, menjadikan nafsu manusia menyetir akal. Dalam kasus Palestina, kita ketahui bersama, bahwa adanya kejahatan berat dan kezaliman yang terpampang nyata dilakukan Israel, membuat hati nurani siapapun harusnya prihatin dan geram. Namun, sekularisme dapat mematikan itu semua. Adanya kepentingan dan sekat nasionalisme yang lahir dari rahim sekularisme manambah sifat acuh, tak mau perduli, dan menganggap yang terjadi di Palestina bukanlah urusan bangsa atau negara kita. Inilah ikatan yang lemah dan mematikan hati nurani.
Sekularisme, juga menjadikan baik dan buruk sesuatu disandarkan pada akal manusia, yang tentu banyak kekurangan dan kelemahan, bahkan tak jarang terjadi kezaliman dengan mengatasnamakan demokrasi (red: suara terbanyak). Respon yang diambil pemerintah sungguh mencoreng rasa empati dan simpati, bahkan mengecewakan banyak orang.
Islam Memanusiakan Manusia
Islam datang, dengan kesempurnaannya, membawa cahaya, penyempurna semua agama yang diutus oleh Allah SWT kepada Muhammad Saw Nabi terakhir yang mengemban risalah Al-Qur'an sebagai kitab penuh cinta, keselamatan baik dunia dan akhirat. Maka tak heran segala permasalahan hidup diatur oleh Islam dengan solusinya.
Selain itu, Islam juga berdasar pada aturan yang komprehensif (syariat), di mana Allah Swt turunkan untuk mengatur kehidupan manusia. Sehingga, aturan yang didasarkan pada al-Qur'an, As-sunah, Ijma dan Qiyas selalu berjalan di atas koridor yang tepat. Penjagaan dan penerapan aturan Islam ini, menutup peluang kecurangan, penghianatan dan keabaian terhadap umat.
Konsistensi Islam sebuah keniscayaan, karena berasal dari sang pemilik kehidupan Allah Swt. Efek jera yang ditimbulkan atas hukum Islam juga memberikan pengajaran, hukuman dan keadilan yang memuaskan akal. Ketegasan aturan tersebut menjadikan seorang pemimpin tidak mudah disetir oleh oknum atau kepentingan lain kecuali kepentingan umat. Sehingga, Islam memandang siapapun mereka yang berakidah Islam adalah satu tubuh, saudara seiman, dan siapapun yang tunduk dan berada di bawah perlindungan khalifah, di manapun ia berada akan senantiasa mendapatkan perlindungan yang sama.
Salah satu buku KH Abdurrahman Arroisi (buku 30 Kisah Teladan, red) menuliskan tentang keteladanan Umar Bin Khatab ketika didatangi seorang Yahudi tua yang mengeluh kepadanya mengenai masalah penggusuran rumahnya yang terancam digusur penguasa demi kepeningan umum, ketertiban, dan keindahan. Dia pun keras memprotes kesewang-wenangan Gubernur Mesir, Amru bin Ash, yang akan membangun rumah megah di atas tanah miliknya.
Pembelaan Umar tersebut, menunjukkan betapa bertanggungjawabnya seorang pemimpin tanpa pilih kasih, tak memandang lagi apakah dia seorang muslim ataupun bukan. Berbeda yang terjadi saat ini, sekat nasionalisme membutakan nurani, dan rasa ketidakpedulian karena merasa bukan urusan negaranya atau bangsanya. Olehkarenanyalah hanya sistem Islam yang layak dijadikan rujukan dan acuan dalam bertindak baik individu, masyarakat dan negara. Maka, merubah sistem saat ini dengan sistem Islam adalah pilihan tepat.
Wallahu alam bishawab.
Post a Comment