Haid Tidak Batalkan Puasa? Pandangan Nyeleneh Buah Liberalisasi Agama



Oleh: Umi Nur Fitriana, M.Pd.I (Aktivis Muslimah)


Media sosial, khususnya Instagram sedang ramai dengan perbincangan soal perempuan haid tidak membatalkan puasa. Banyak lembaga agama Islam menolak dan mengecam alasan tersebut karena tidak sesuai ketentuan syariat. Akun Instagram indonesiafeminis's mengunggah ulang pembahasan dari akun Instagram mubadalah.id soal alasan perempuan haid boleh berpuasa. Unggahan itu menyebutkan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an yang melarang perempuan haid berpuasa. Kemudian, disebutkan juga bahwa hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Ra dan riwayat lainnya menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang salat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa.


Padahal dalam Hadist itu diceritakan bahwa Aisyah isteri nabi berkata, "Kami pernah kedatangan hal itu (haid) maka kami diperintahkan meng-qada' puasa dan tidak diperintahkan meng-qada' Shalat." Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bukankah wanita itu jika sedang haid , tidak shalat dan tidak berpuasa? " mereka menjawab, "Ya" (HR Bukhari).


Dalam kitab Fathul Bari Syarh hadis nomor 304 disebutkan bahwa larangan salat bagi perempuan haid adalah perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam salat dan perempuan haid tidak dalam keadaan suci. Ada pun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi perempuan haid itu sifatnya adalah ta’abudi (sebatas ibadah). Sehingga butuh suatu nash pelarangan yang berbeda dengan salat.


Berbeda halnya dengan musafir, wanita yang tidak berpuasa karena haid maupun nifas bukan karena rukhshah atau keringanan untuk mereka, melainkan karena agama memang melarang mereka untuk berpuasa. Sedangkan kondisi musafir, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, akan tetapi disaat yang sama mereka juga boleh untuk tetap berpuasa. Terdapat banyak kutipan ijma para ulama yang menjelaskan jika seorang perempuan memilih berpuasa ketika haid dan nifas, maka puasanya tidak sah dan haram hukumnya apabila tetap melakukannya. 


Pemikiran nyeleneh atas nama fiqih progresif adalah bentuk liberalisasi agama. Hal ini juga akibat diabaikannya syariah oleh negara. Negara yang seharusnya berperan melindungi agama yaitu aqidah dan syariah tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Negara tunduk pada kebebasan beragama dan berpendapat. Hal ini membuat negara tidak mau ikut campur menyelesaikan pandangan-pandangan nyeleneh terkait peribadatan. Termasuk ketika adanya penyimpangan fiqih Islam berkaitan ibadah mahdho berupa puasa.


Berbagai pandangan yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat maupun agama membuat negara menganggap biasa hal yang bertentangan dengan syariat. Sehingga nampak jelas penyimpangan syariat dengan mudahnya dibiarkan. Hal ini menjadikan pemicu munculnya penyesatan agama dengan kasus yang berbeda-beda. Belum lagi sanksi hukum yang lemah terhadap kasus-kasus pelecehan agama hingga tidak menimbulkan efek jera para pelaku. Pelecehan tersebut justru makin berkembang ke dalam bentuk penyesatan agama. Seperti inilah kondisi umat di sistem kapitalisme demokrasi. Standart benar salah, halal haram bukan terletak pada hukum Syara', tetapi pada pendapat mayoritas atas dasar kebebasan (liberalisasi agama).


Akhirnya kita dapati bahwa pendapat yang jelas jelas sudah dilarang syariat  bisa lolos begitu saja, faktor inilah yang menyebabkan penyesatan agama timbul tenggelam dengan kasus yang berbeda-beda. Ditambah sistem sanksi yang lemah tidak menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Liberalisasi agama dan syariat makin parah. Pemikiran agama yang menyimpang tumbuh subur di negeri ini.


Sistem sanksi dan peradilan Islam berbeda dengan sistem peradilan di masa Demokrasi liberalisasi kini. Sistem peradilan Islam bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah yang memiliki dua fungsi yaitu sebagai pencegah (jawazir) dan penebus dosa (jawabir).  Jawazir yaitu agar masyarakat jera tidak ikut mengulangi kemaksiatan yang sama. Sedangkan jawabir yaitu agar terbebas dari sanksi di akhirat kelak. Hanya sebuah institusi negara yang bisa menerapkan sanksi peradilan Islam agar pelecehan terhadap agama dan syariatnya tidak terus terjadi berulang-ulang.


Konsep negara dalam Islam biasa disebut khilafah. Khilafah berperan menjaga agama dan syariatnya dari pelecehan sekecil apapun. Pernah terjadi di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, adanya sekelompok kaum yang masih menegakkan sholat tetapi enggan membayar zakat karena beralasan Rasulullah telah wafat. Hal ini direspon tegas oleh sang Khalifah. Tidak boleh memisahkan antara sholat dengan zakat yang sama wajibnya. Mereka yang setelah diperingatkan masih enggan membayar zakat akhirnya diperangi. Sebab zakat adalah bagian dari syariat Islam, termasuk salah satu dari rukun Islam. Saat Islam diterapkan dalam negara khilafah, telah terbukti mampu menjaga aqidah dan syariat agama ini. Wallahu a’lam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post