Gratifikasi jadi Budaya, Larangan dan Sanksi tak Membuat Jera


Oleh Sartinah
Pemerhati Masalah Publik

Modus gratifikasi berbalut THR masih saja mewarnai di setiap momen hari raya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mewanti-wanti agar para penyelenggara negara dan aparatur sipil negara (ASN) tidak menerima gratifikasi berbalut THR. Sebab, hal itu dapat berimplikasi pada tindak pidana korupsi. 

Demi menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara, KPK telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi terkait Hari Raya. Lembaga antirasuah tersebut mengingatkan agar para pejabat negara dan ASN tidak menerima, meminta, maupun memberi gratifikasi THR. KPK menilai, gratifikasi terkait hari raya berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan bertentangan dengan peraturan. (Media Indonesia, 2/5/2021)

Tak sampai di sini, KPK bahkan memasukkan pendidikan sebagai salah satu "national interest" road map 2011-2023. Dengan memasukkan unsur dan nilai pendidikan kepada masyarakat, diharapkan akan membentuk karakter serta integritas anak bangsa. Nantinya, hal ini akan mencegah dari pengaruh dan bahaya laten korupsi. (Media Indonesia, 2/5/2021)

Berbagai pendekatan yang dilakukan negara agar perilaku korup tidak dilakukan, nyatanya tidak menunjukkan hasil signifikan. Korupsi/gratifikasi menjadi lumrah terjadi di tengah buruknya birokrasi. Gratifikasi sendiri adalah uang hadiah kepada para pegawai di luar gaji yang telah ditentukan (KBBI). Gratifikasi bisa berupa hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya yang terjadi dari bawahan ke atasan. Biasanya dilakukan karena mengharapkan imbalan tertentu, baik terkait jabatan, pekerjaan, kemudahan bisnis, dan lain-lain.

Budaya korupsi yang sudah mengakar kuat di negeri ini tampaknya mustahil diberantas. Karena itu, mengharapkan birokrasi bersih saat ini ibarat menegakkan benang basah. Meski pendekatan larangan dan sanksi dilakukan untuk memutus perilaku korup, faktanya hal ini tidak memberi banyak pengaruh. Sebab, birokrasi korup lahir dari sistem berbiaya mahal bernama demokrasi. Sistem yang menyandarkan segala sesuatunya pada para pemilik modal, meniscayakan terjadinya politik balas budi. Bila demikian, para penyelenggara negara akan kehilangan integritasnya sebagai pelayan rakyat.

Maka tak heran, selama demokrasi masih diterapkan, selama itu pula budaya koruptif tak pernah hilang. Sistem demokrasi tidak memberi ruang yang sama secara adil kepada setiap orang. Ibaratnya, siapa yang berharta, dia juga yang akan berkuasa. Siapa yang banyak memberi kepada para pengelola urusan rakyat,  merekalah yang akan dilayani. Hal ini tentu memberi celah bagi seseorang untuk melakukan segala cara demi memudahkan urusan pribadinya. Salah satunya melalui gratifikasi. Padahal, gratifikasi berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi.

Di bawah sistem yang menafikan aturan Tuhan, akan melahirkan pula birokrasi yang penuh kecurangan. Tak hanya itu, perilaku koruptif sudah menggurita, bahkan dianggap biasa. Tak hanya para pemangku kebijakan, rakyat biasa pun tidak lepas dari jerat korupsi. Bak lingkaran setan, budaya korupsi seolah tidak memiliki jalan keluar hingga kini.

Padahal, baik suap-menyuap, gratifikasi ataupun korupsi merupakan perbuatan terlarang. Selain terlarang dalam hukum negara, Islam pun melarang pemberian gratifikasi. Terlebih bila ditujukan kepada mereka yang diberi wewenang untuk mengurus urusan rakyat. Bahkan, Rasul saw. melaknat orang-orang yang menerima gratifikasi. Rasulullah saw. juga menyamakan gratifikasi dengan mengambil ghulul (barang curian dari harta rampasan perang).

Sebagaimana peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu al-Humaid as-Sa'idi r.a., bahwa Rasulullah saw. pernah mempekerjakan seseorang untuk memungut zakat di sebuah perkampungan. Namun pekerja pemungut zakat yang telah diberi gaji tersebut, menerima hadiah dari pihak yang memberi zakat. Seketika Rasulullah saw. marah dan meminta hadiah tersebut dikembalikan. 

Dalam sebuah hadis, Rasul saw. pun bersabda: Allah Swt. melaknat penyuap dan yang disuap (HR Imam Ahmad). Juga menjelaskan ancaman keras di akhirat terhadap para pemberi suap. Mereka akan datang pada hari kiamat dengan membawa apa yang dihadiahkan kepada mereka dalam keadaan dibebankan pada lehernya. Ada kalanya hadiah itu berupa unta, sapi, atau kambing, berikut suara masing-masing. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Selain besarnya ancaman dosa, Islam mempunyai langkah preventif demi meminimalisasi terjadinya gratifikasi atau korupsi. Pertama, adanya teladan dari pemimpin. Islam mewajibkan ketakwaan individu bagi siapa pun yang diberi amanah sebagai pejabat maupun penguasa. Dengan bekal takwanya, para penguasa maupun pejabat akan fokus mewujudnya kesejahteraan, keadilan, kemaslahatan rakyat di atas landasan akidah Islam.

Kedua, para pegawai atau pejabat diberikan gaji yang layak agar terpenuhi seluruh kebutuhan mereka. Ketiga, negara membentuk lembaga pengawasan untuk mengetahui apakah ada kecurangan terkait harta yang diperoleh para pejabat. Keempat, perhitungan harta kekayaan yang dimiliki para pejabat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada selisih harta kekayaan yang dimiliki dari awal dan akhir masa jabatannya. Kelima, adanya sistem sanksi yang tegas. Korupsi dalam segala jenisnya diberi sanksi ta'zir. Namun terlebih dahulu diberi sanksi tasyhir atau pewartaan dengan diarak keliling kota, penyitaan harta, sanksi kurungan, hingga hukuman mati.

Sebagaimana Islam datang sebagai rahmat, demikian juga para birokrat yang lahir darinya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menjaga amanah atas dasar ketakwaannya. Lebih dari itu, para penyelenggara negara sadar betul bahwa apa yang amanahkan kepada mereka akan dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt. kelak di akhirat.
Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post