Oleh Sulastri
(Relawan Media)
Pada bulan Ramadan dan menjelang Idul Fitri, tingkat konsumsi masyarakat terhadap daging, khususnya daging sapi kian meningkat. Namun, Karena Indonesia hari ini sedang mengalami defisit daging, lagi-lagi solusi tercepatnya adalah dengan mengimpor daging.
Seperti dilansir dari Zonasultra( 23/04/2021) sebanyak enam ton daging kerbau impor dari India akan sampai ke Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Kantor Wilayah (Kanwil) Sulawesi Tenggara (Sultra).
Hal tersebut disampaikan langsung Kepala Bulog Kanwil Sultra Ermin Tora kepada zonasultra di kantornya pada Jumat (23/4/2021). Kata dia, daging tersebut di perkirakan akan sampai dalam satu hingga dua minggu ke depan.
Penambahan daging tersebut disetujui kantor pusat untuk mengantisipasi kebutuhan daging menjelang lebaran. Harga daging kerbau pun dijual dengan harga murah yaitu Rp 80 ribu perkilonya.
Lanjutnya, Ermin mengatakan masyarakat tidak perlu ragu untuk mengkonsumsi daging kerbau. Pasalnya, daging kerbau ini dalam bentuk beku sehingga dalam higienitas terjaga karena berada dalam suhu yang terjaga juga punya sertifikat halal dari MUI.
Untuk diketahui, Bulog mendapat jatah impor daging kerbau sebanyak 80.000 ton tahun ini dan sudah meneken kontrak pengiriman 22.000 ton daging kerbau selama periode Maret-Juni 2021. Impor dilakukan secara bertahap, dan sebanyak 6.200 ton daging kerbau beku yang diimpor dari India sudah masuk ke gudang Perum Bulog.
Daging ini langsung disebarkan ke seluruh Indonesia untuk menstabilkan harga daging sapi yang mengalami kenaikan di bulan Ramadhan ini.
Niat baik pemerintah untuk memberikan kesempatan pada rakyatnya untuk mendapat protein hewani memang patut diapresiasi. Namun, banyak pihak mengkritisi daging kerbau sebagai penggantinya. Apalagi kerbaunya berasal dari India. Inilah yang menjadi masalah.
Impor daging kerbau ini ternyata pernah terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Namun, masyarakat ternyata tak terlalu antusias menyambut daging kerbau ini. Di beberapa pasar, para pedagang enggan menjual daging kerbau karena sepi peminat. Karakteristik daging kerbau memang kurang gurih jika dimasak. Selain itu, tekstur daging kerbau lebih keras dan berbau.
Di sisi lain, kebijakan impor memang telah menjadi langkah dan solusi instan dalam menyelesaikan permasalahan kelangkaan pangan di negeri ini. Bahkan, bisa dikatakan negeri ini seakan telah kecanduan dengan aktivitas impor. Padahal, jika ditengok kembali, negeri ini adalah negeri dengan potensi sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari lautnya yang kaya akan berbagai aneka hewan dan keistimewaan lainnya yang tak dimiliki oleh laut negara lain. Tanahnya yang subur, sehingga bisa dikatakan tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Juga perut buminya yang menyimpan kekayaan luar biasa. Namun, semua yang dimiliki seakan hanya sebuah ilusi. Karena fakta berbicara sebagian besar masyarakat di negeri ini justru hidup dalam taraf kemiskinan.
Sistem kapitalisme sekuler inilah yang menjadi biang kerok dibalik semua ini. Sistem ini menjadi pemegang kendali dari kebijakan yang dihasilkan di negeri ini. Termasuk kebijakan impor yang menjadi solusi paten untuk mengatasi berbagai kelangkaan bahan pokok di dalam negeri. Padahal, sesungguhnya kebijakan impor ini merupakan sebuah keputusan yang bisa mematikan para pengusaha, peternakan dan petani lokal.
Di sisi lain, ketika kebijakan impor ini terus digalakan, dikhawatirkan nantinya kebijakan tersebut akan membuat sebuah negeri kehilangan kedaulatan. Sebab, negeri tersebut akan terus bergantung kepada negeri lain ketika ada masalah, khususnya masalah kelangkaan pangan.
Pada dasarnya aktifitas ekspor impor dalam Islam dalam suatu negara diperbolehkan karena merupakan bagian aktifitas perdagangan yang masuk pada aspek muamalah, baik secara bilateral maupun multilateral.
Sebagaimana Allah Subhnahu Wata’ala berfirman: “ Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” [TQS Al-Baqarah [2] :275)
Maknanya adalah kebolehan atas jual beli atau perniagaan, termasuk apabila pemerintah melakukan impor barang ke dalam negeri.
Dalam Islam, kebijakan perdagangan internasional dilarang keras apabila kebijakan tersebut merugikan rakyat dan menyebabkan rakyat makin sengsara dalam hal ini khususnya para peternak. Dalam Islam, kepala negara juga pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat, tidak boleh ada pengabaian hak rakyat hingga memberlakukan kebijakan dholim yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat.
Sebagaimana dalam riwayat hadis Rasullullah, bahwa fungsi pemerintah adalah laksana penggembala. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Imam (kepala negara) laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menginsyaratkan bahwa penguasa memiliki tanggung jawab besar dalam implementasinya mengurusi rakyat termasuk persoalan kebijakan impor yang harus sesuai koridor syara’ dan tetap menguntungkan rakyat.
Dan Islam menolak keras kezaliman penguasa yang merugikan rakyat sebagaimana Allah telah menyiapkan adzab yang pedih bagi pemimpin zalim yang menyengsarakan Rakyatnya. Allah pun mengingatkan dalam Al-Qur'an:
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat dhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat ‘adzab yang pedih.” [TQS. Asy-Syuuraa : 42].
Dalam hadis ditegaskan bahwa para pemimpin zalim yang menipu rakyat dengan janji-janji palsunya, diharamkan baginya surga. Rasulullah mengingatkan:
“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim). Dalam lafaz yang lain disebutkan : ”Ia mati dimana ketika matinya itu ia dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan baginya surga.”
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan turunnya kesusahan bagi para pemimpin zalim penindas rakyat.
Rasulullah bersabda: “ Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Wallahu a’lam bish shawab.
Post a Comment