Pelajar kelas XI
Baru-baru ini dunia maya dikejutkan dengan unggahan dari akun instagram @mubadalah.id. Akun tersebut mengunggah pernyataan bahwa seorang perempuan yang sedang berhalangan diperkenankan untuk melakukan puasa Ramadhan, dengan sumber argumentasi Dr. Ahmad Imarah serta Prof Abdul Aziz Bayindir.
Pada akun tersebut dimuat 3 pernyataan mengapa wanita tetap boleh melaksanakan puasa Ramadhan ketika sedang berhalangan,
“(1) Jika haid merupakan penghalang puasa, maka seharusnya perempuan haid tak wajib mengqada puasanya seperti halnya perempuan haid tak wajib mengqada sholatnya.
(2) Perempuan haid disamakan dengan orang sakit; mereka boleh memilih antara berpuasa dan tak berpuasa.
(3) Melakukan pemaknaan ulang terhadap hadis Aisyah yang dijadikan dalil tidak boleh perempuan haid berpuasa.”
Tentu saja pendapat tersebut mendapat banyak kritik dan kontra dari berbagai pihak, salah satunya Wakil Ketua MUI Anwar Abbas. Ia berpendapat bahwa setidaknya ada 2 hadis yang dapat dijadikan rujukan agar wanita haid tidak melakukan puasa Ramadhan di kala itu dan menggantinya di bulan lain.
Yang pertama, hadis dari Aisyah R.A.,
"Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan megqada salat." (HR Muslim).
Serta hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
"Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab, Ya." (HR Bukhari).
Para ulama telah sepakat bahwa berpuasa di bulan Ramadhan memang tidak diperkenankan bagi mereka yang sedang haid. Karena sudah jelas terdapat 2 hadis yang telah melarangnya. Hal ini merupakan perkara ta’abbudi (ibadah) bukan masalah ta’aquli (rasional). Sehingga semuanya harus disandarkan pada dalil yang ada.
Perkara orang haid tak boleh melaksanakan puasa juga ada di dalam ijma' ulama serta di dalam kitab syarah muhadzab. Artinya, ulama terdahulu sudah lebih dahulu membahasnya dan mereka telah bersepakat bahwa orang haid tidak boleh mengerjakan puasa Ramadhan ketika haid.
Perkara syariah memang sangat penting untuk diperhatikan tiap individu maupun negara. Sebab, jika ada satu atau beberapa aspek yang tak dikerjakan ataupun salah dalam mengerjakannya, maka hal itu akan mengurangi bahkan menghapus pahala yang seharusnya didapatkan secara penuh.
Tentunya, kasus seperti ini merupakan buah dari abainya negara dalam melindungi syariah. Negara kita yang menganut mabda’ demokrasi memiliki asas kebebasan berpendapat yang akan memunculkan banyak penentang Islam yang berpendapat sesuka hati mereka. Alhasil, akan ada banyak pemikiran dan pernyataan yang tak sesuai dengan Islam.
Dengan sistem seperti saat ini, umat Islam akan mudah untuk dipecah belah. Mereka juga akan semakin kabur dengan agamanya, tak tau lagi mana yang benar dan mana yang salah, mana yang halal dan haram, mana yang boleh dilaksanakan dan mana yang tidak boleh dilaksanakan. Alhasil, akan muncul banyak sosok yang mengaku dirinya sebagai ulama, namun fatwanya berdasarkan apa yang mereka inginkan dan sejatinya akan menyeret manusia ke dalam neraka.
Hilangnya junnah atau perisai yakni Daulah Khilafah akan sangat menyengsarakan dan membahayakan umat dalam berbagai aspek. Negara yang seharusnya berperan sebagai muhafadzah ala ad diin tidak akan menjalankan perannya. Sehingga, pandangan menyesatkan akan terus berkembang dan merata. Dan akan berdampak kepada pembentukan masyarakat serta generasi muda yang memiliki pemikiran serta pola sikap yang tidak sesuai dengan Islam. Penyimpangan-penyimpangan pun akan terus terjadi baik di lingkup masyarakat kecil hingga besar.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa berdoa serta berjuang agar Daulah segera tegak. Karena hanya dengan Daulah-lah, masyarakat akan terlindungi dan terjamin dalam berbagai aspek, termasuk pemikiran yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment