Oleh Marsitin Rusdi
(Praktisi Klinis)
Agama adalah poros kehidupan umat dimanapun berada, dijadikan ideologi sebagai sumber hukum kehidupan. Karena agama Islam adalah agama terakhir sebagai penyempurna tatanan kehidupan manusia tanpa melihat di negara mana umat tinggal. Agama Islam bukan sekedar keyakinan namun agama Islam adalah pandangan hidup atau idiologi umat Islam yang semua bersumber pada aturan dan hukumnya.
Agama dalam kehidupan manusia mempunyai pengaruh yang sangat besar. Memberikan bimbingan dalam hidup, menolong dalam menghadapi kesukaran dan menentramkan batin. Realitanya, jalan yang ditunjukkan agama tidak seluruhnya diikuti oleh manusia, bahkan sebagian besar mengingkarinya. Pengingkaran terhadap agama ini tidak hanya terjadi pada zaman jahiliyah saja, tetapi terjadi juga pada zaman modern ini. Yang dilakukan bukan hanya kaum bawah saja namun para intelektual dan cendekiawan muslim itu sendiri.
Proses modernisasi telah membawa perubahan pola hidup manusia. Terutama dalam cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang mana perubahan tersebut akan membawa dampak positif dan negatif. Dampak negatif dari modernisasi antara lain: adanya perubahan tata nilai dan tata kehidupan yang serba keras, bahkan tradisi nenek moyang yang dikenal beradab telah terkikis oleh budaya baru yang serba modern.
Perubahan tata nilai tersebut dikarenakan lemahnya keyakinan beragama, sikap individual dan matrealis. Hal ini karena tuntutan hidup yang semakin tinggi dan semakin banyak yang kurang terpenuhi oleh kewajiban pemimpin negara. Akibatnya persaingan hidup semakin tajam dan penuh ketegangan. Sikap kebersamaan sukar didapatkan, apalagi dalam lingkungan masyarakat yang tidak menjadikan agama sebagai way of life. Rasa keterkaitan antara kelompok, keluarga, dan sesama tetangga terasa semakin longgar.
Agama Islam sudah seharus berperan dalam mengatur kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada kebaikan bersama. Artinya, agama tidak hanya memberikan nilai-nilai yang bersifat moralitas, namun juga menjadikannya sebagai fondasi keyakinan. Agama mensyarakatkan moralitas sebagai bagian iman secara keseluruhan. Agama mempunyai peranan penting dalam mengatur/mengorganisasikan dan mengarahkan kehidupan sosial. Agama juga menolong menjaga norma-norma sosial dan kontrol sosial. Ia mensosialisasikan individu dan melakukan kontrol baik terhadap individu maupun kelompok dengan berbagai aturan dan cara.
Ironis memang, tidak semua orang yang beragama Islam faham akan aturan dan hukum yang terdapat dalam ajaran Islam. Sebagian besar orang faham setengah-setengah dengan agamanya, ada sebagian orang bahkan mereka yang dianggap tokoh intelektual pun entah sengaja atau tidak membuat kebijakan seakan apa yang disampaikan adalah sebuah kebenaran , pasti mereka sengaja karena ingin didengar oleh kalayak luas, seluruh bangsa ini.
Seperti yang dilansir oleh TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, agama, khususnya Islam, dapat menerima sistem politik dan pemerintahan apapun, termasuk demokrasi. Salah satu alasanya karena dalam demokrasi ada keadilan dan gotong royong. Mereka berasumsi bahwa keadilan dan gotong royong sudah mewakili keapsyahan bahwa demokrasi bisa diterapkan oleh agama Islam, mungkin mereka menganggap bahwa kebijakan itu hanya sekedar wacana opini tanpa pembahasan yang mendasar tentangnya, tidak perfikir linier bahwa kebijakan itu adalah suatu upaya yang harus dijalankan, dan yang menjalankan seluruh warga negara, bahkan menjadi hukum dalam mengatur jalanya pemerintahan. Dengan mudahnya menyomot kebijakan tanpa ada landasan, beginilah sistem demokrasi sekuler.
Sudah banyak yang lupa atau sengaja melupakan bahwa pernyataan yang mereka buat hanya untuk diperdebatkan, seperti pernyataan MENKOPOLHUKAM , dikatakan bahwa agama itu peraturan dan normanya, prinsipnya, datang vertikal, dari Tuhan. Pedoman hidup manusia. Wahyu Tuhan yang wajib diikuti sesuai keyakinan. Sementara mereka menuhankan sistem demokrasi yang menjadi model dan sistem hukum di dalam kehidupan dan bernegara. Peran agama mereka anggap sebagai pembanding saja bukan sebagai acuhan dalam mengambil kebijakan. Islam bukan lagi menjadi poros ,yang harus dijaga kemurnian ajarannya, sebagai acuhan setiap peraturan dan hukum dalam kehidupan sebagai pengatur, namun justru diwarnai dengan kepentingan negara yang menguntungkan penguasa dan kroninya.
Seperti yang dilansir Merdeka.com. "Jujur kami tiap bulan rata-rata hampir 20 hingga 30 persen PNS yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus kami ambil keputusan untuk diberhentikan dengan tidak hormat," kata Tjahjo Kumolo dalam acara rilis survei LSI virtual, Minggu (18/4).
Tjahjo mengatakan, setiap kasus korupsi dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pasti ada PNS yang terlibat. Para PNS atau ASN itu selama proses hukum tidak langsung diberhentikan melainkan dinonaktifkan terlebih dahulu hingga proses hukum selesai. Lagi - lagi hukum dibuat permainan, karena sumber hukum yang mereka terapkan bukan berasal dari aturan Allah SWT sebagia pencipta makhluk, melainkan hukum rekayasa manusia pada sistem sekuler demokrasi.
Korupsi sudah mengakar dinegeri ini, bahkan kalangan ASN itu hal yang sangat buruk untuk pendidikan umat, bahkan korupsi terstruktur dengan rapinya, hingga diketahui pos-pos hingga prosentase.
Djayadi mengatakan, terdapat empat praktik koruptif yang dinilai sedikit atau sangat sedikit terjadi antara PNS dengan suatu pihak. Praktik yang lebih banyak dinilai terjadi adalah PNS menerima uang untuk melancarkan urusan suatu pihak dan PNS didekati secara personal untuk sewaktu-waktu diminta bantuan. Juga PNS menerima barang untuk melancarkan urusan dan PNS menerima layanan pribadi," ujarnya (Republika, 18/4/2021).
Survei LSI juga mendapati bahwa kurangnya pengawasan membuat PNS terdorong untuk melakukan korupsi. Survei mendapati kalau 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan. Sedangkan 34,8 persen responden menilai kalau keberadaan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa juga menjadi faktor pendorong korupsi. Sementara 26,2 persen menilai perilaku koruptif akibat gaji yang rendah. Sebesar 24,4 persen menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. 24,2 persen berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin.
Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya korupsi? Banyak pakar sudah melakukan analisis mengenai hal ini. Menurut Erika Evida (2003), berdasarkan analisisnya terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh (1974), Merican (1971), Ainan (1982), sebab-sebab terjadinya korupsi adalah 3 (tiga) faktor berikut :
Pertama, gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban, dan sebagainya. Kedua, budaya warisan pemerintahan kolonial.Ketiga, sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara tak halal, tak ada kesadaran bernegara, serta tak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh pejabat pemerintah. (Erika Evida, Korupsi di Indonesia : Masalah dan Solusinya, USU Digital Library, 2003, hlm. 3).
Namun demikian, analisis faktor penyebab korupsi itu sebenarnya tidak mendalam, dan hanya memotret fenomena korupsi dari sisi permukaan atau kulitnya saja. Faktor penyebab korupsi saat ini sebenarnya berpangkal dari ideologi yang ada, yaitu demokrasi-kapitalis. Faktor ideologis inilah, beserta beberapa faktor lainnya, menjadi penyebab dan penyubur korupsi saat ini.
Faktor ideologis tersebut terwujud dalam nilai-nilai yang menjadi anutan dalam masyarakat kini yang berkiblat kepada Barat, seperti nilai kebebasan dan hedonisme. Demokrasi-kapitalis telah mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra`yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah). Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur dalam sistem demokrasi-kapitalis yang terbukti telah melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1990).
Lalu bagaimana syariat Islam menyelesaikan kasus seperti ini ? Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw. bersabda : “Laysa ‘ala khaa`in wa laa ‘ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un.” (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret).” (HR Abu Dawud). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31).
Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Bukankah dalam Al-Qur`an Allah sudah berfirman yang berbunyi,”Laa yusyrik fi hukmihi ahadan.” Artinya, Allah tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum. (QS Al-Kahfi : 26). Maka, sistem hukum plural yang syirik dan warisan kafir penjajah ini sudah semestinya dihapuskan dari muka bumi. Melaksanakan sistem syirik sama saja dengan melanggengkan penjajahan di negeri ini.
Dengan diterapkannya syariah Islam (nantinya) sebagai satu-satunya sistem hukum tunggal di negeri ini, maka Syariah Islam akan dapat memainkan perannya yang sangat efektif untuk memberantas korupsi, baik peran pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis itu sendiri. Selanjutnya, setelah menghapuskan ideologi yang merusak itu, diterapkan Syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini.
Wallahu a’lam bissawwab
Post a Comment