ASEAN Tak Berdaya dalam Jeratan Negara Adidaya



Oleh : Safiati Raharima (Aktivis Remaja Ideologis)


Dilansir dari viva.co.id (5/5/2021), negara-negara G7 berkumpul di London selama tiga hari (3-5 Mei 2021). Negara-negara tersebut adalah Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, dan AS. Mereka berkumpul bersama negara undangan yakni Australia, India, Republik Korea, Afrika Selatan. dan Ketua ASEAN. Pertemuan G7 ini dianggap bersejarah karena dianggap menjadi simbol aliansi dan kemitraan dengan kawasan Indo-Pasifik. Yakni dalam rangka mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, Covid-19, pelanggaran hak asasi manusia, masyarakat terbuka, ketidaksetaraan gender dan kerawanan pangan (viva.co.id, 5/5/2021).


Dihadiri oleh para Menteri Luar Negeri dan Pembangunan G7, pertemuan tersebut membahas hal yang dianggap sebagai permasalahan global paling kritis adalah hal-hal yang mengancam dan merusak demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena itu, menurut mereka, perlu adanya tindakan tegas terhadap hal ini.
Bagi ASEAN sendiri, pertemuan G7 kali ini adalah  pertama kalinya menghadirkan ASEAN.  Seperti yang disampaikan oleh  Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins, “keterlibatan ASEAN dalam pertemuan ini mencerminkan langkah perubahan Inggris dalam keterlibatannya dengan Indo-Pasifik” (viva.co.id, 5/5/2021).


Kerjasama antar manusia yang terintegral sebagai negara secara alamiah wajar dilakukan. Namun, penting untuk dicermati dan dipahami. Kerjasama G7 dan Indo-Pasifik, sejatinya penyerahan diri ASEAN pada kepentingan negara kapitalis Barat. Pasalnya, paradigm kerjasama saat ini adalah paradigma sistem kapitalisme global. Dampaknya negara partner tidak mendapatkan kemaslahatan dari kerja sama ini, justru hal ini sebagai ancaman menguatnya hegemoni kapitalis di negeri partner.


Hal ini tercermin dari yang disampaikan oleh Owen Jenkins, “ pertemuan G7 mencerminkan kenyataan bahwa negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, sangat penting bagi masa depan planet kita, ekonomi global kita, serta perdamaian dan stabilitas global. Selain itu, Owen menegaskan bahwa Inggris yang menjadi tuan rumah G7 tahun ini merupakan kesempatan untuk membuat kemajuan besar dalam masalah global. Dari keahlian Inggris di bidang ilmiah dan genomic yang terkemuka di dunia, pengembangan vaksin COVID-19 yang menyelamatkan jiwa, dan kepemimpinan dalam menetapkan target paling ambisius untuk mengatasi emisi iklim dari ekonomi besar mana pun. Inggris memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada G7 dan dunia”(m.liputan6.com 6/5/2021).


Indonesia sebagai negara besar, sejatinya memiliki peran penting terkait isu di kawasan Indo-Pasifik. Wilayah Indo-Pasifik memiliki peran strategis dan potensi yang sangat besar, tidak heran jika wilayah ini menggiurkan bagi kapitalis-kapitalis besar. Kerja sama hanyalah balutan agenda penjajahan untuk membantu bangsa-bangsa yang tertinggal. Negara-negara besar pelaku neoimperialisasi adalah mereka yang telah mengalami revolusi industri. Mereka mencoba meningkatkan keuntungan dan mencari daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam bahan mentah, tenaga kerja yang murah, dan kompetisi yang lemah. Wilayah sasaran neoimperialisasi diantaranya adalah Afrika, Asia Tengah, Asia Tenggara dan Polinesia.


Oleh karena itu, jika mengharapkan kebangkitan hakiki harus berdasarkan ideologi  yang sebanding dengan kekuatan ideologi kapitalisme. Karena modal besar kekuatan Indonesia pada jumlah umat Islamnya, maka sudah seharusnnya kekuatan menghadapi neoimperialisasi adalah ideologi Islam. Islam mengatur dengan sempurna politik luar negeri. Bukan politik luar negeri yang Bebas Aktif, melainkan  berdasarkan kategori wilayah. Sistem Islam membagi dunia menjadi dua kategori, yaitu darul Islam dan darul kufur. Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam.


Pembagian ini juga turut menjelaskan sikap negara kufur terhadap negeri-negeri  muslim. Sebagian negara kufur ada yang permusuhannya secara nyata sehingga masuk kategori kafir harbi fi’lan, seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Israel dan China. Sebagian lagi memusuhi kaum muslimin tidak secara nyata bergantung kepentingan negara, namun tetap potensial memusuhi kaum muslimin. Negara-negara ini disebut kafir harbi hukman. Hubungan politik luar negeri kepada kafir harbi fi’lan hanyalah hubungan perang. Haram menjalin hubungan diplomatik, kerjasama ekonomi, pendidikan, perdagangan dan militer dengan negara mereka termasuk kerjasama investasi dan hutang luar negeri. Adapun terhadap kafir harbi hukman, boleh diberlakukan kerja sama bilateral sesuai isi teks-teks perjanjian.  Tapi, dalam hal ekonomi tidak boleh menjual senjata atau sarana militer karena dapat memperkuat sarana militer mereka untuk menghancurkan umat Islam.


Sayangnya, tidak adanya khilafah menjadikan umat Islam tidak mampu mengidentifikasi secara pasti negara-negara kafir harbi, baik fi’lan maupun hukman. Apalagi harus bersikap benar terhadapnya. Oleh karena itu, umat Islam membutuhkan intitusi negara khilafah sebagai kekuatan global kaum muslim. Karena hanya dengan khilafah, umat Islam dapat bersatu dan menjadi penolong dari ketamakan negara-negara kafir harbi dan segala bentuk penjajahan ekonomi, politik dan militer.
Wallahu’alam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post