Nurul Ramadhanti (Mahasiswi S2, Komunitas
Annisaa Ganesha)
Kabarnya, Indonesia kalah dalam sebuah
gugatan yang diajukan Brazil terhadap peraturan tidak tertulis Indonesia
mengenai penghambatan ekspor ayam Brazil ke Indonesia sejak 2009. Hal ini menyebabkan Indonesia harus menerima
impor daging ayam dari negara tersebut sebagai konsekuensi kekalahannya.
Produksi daging ayam di dalam negeri masih dalam angka mencukupi, namun, akibat
kalah gugatan dari Brazil di Organisasi Perdagangan Dunia, Indonesia harus
menerima daging impor untuk beredar di pasar Indonesia. Tingginya harga ayam
lokal akibat harga pakan dan bibit yang tinggi, membuat peluang ayam impor
murah ini akan menggeser penjualan ayam lokal. Jika permintaan terhadap ayam
impor lebih tinggi daripada ayam lokal, maka hal ini akan mengancam
keberlangsungan peternak lokal. (cnbcindonesia.com, 24/04/21)
Fakta dari tren yang ada, Indonesia akan
tetap dalam kekalahan, naik banding adalah strategi Indonesia untuk mengulur
waktu agar impor daging tidak bisa masuk. Namun, naik banding bukanlah solusi
yang akan bertahan lama. Satu atau dua tahun, besar kemungkinan impor daging dari
Brazil akan masuk juga. Hal ini di dukung dengan fakta, permintaan terhadap
daging ayam murah meningkat karena banyaknya masyarakat yang mengeluhkan
tingginya harga ayam yang beredar di pasaran (CNN Indonesia, 20/04/2021).
Sebagai solusi terhadap pakan ayam yang
mahal, Kemendag menghimbau agar peternak dapat melakukan efisiensi produksi
dari aspek pakan dan DOC sehingga harga ayam lokal bisa tetap murah.
Dari fakta yang ada, dapat kita ketahui
bahwa untuk produksi daging ayam, peternak memerlukan pakan dan bibit. Di
Indonesia, pakan dan bibit ini cenderung mahal dikarenakan penentuan harga pada
sistem ekonomi Indonesia di tentukan dari permintaan dan penawaran yang
terbentuk di pasar. Harga yang terbentuk di pasar sangat mudah dimanipulasi
oleh kekuatan opini jaringan dan informasi yang telah pemilik modal kuasai. Serta
banyaknya mafia-mafia perdagangan yang tidak mampu ditumpas oleh negara.
Berbeda dengan sistem ekonomi islam. Dalam
Islam, penentuan harga di pasar haruslah alami melalui mekanisme permintaan dan
penawaran. Tidak boleh ada distorsi yang dilakukan secara sengaja oleh pihak
tertentu untuk merusak harganya, apakah menaikkan terlalu tinggi atau terlalu
rendah dengan mekanisme penimbunan atau bakar uang. Pemerintah negara Islam
tetap tidak boleh mengintervensi harga, tetapi wajib untuk menindak pihak-pihak
yang culas dengan tegas dan diberi sanksi tegas oleh sistem persanksian dalam
islam.
Sedangkan untuk impor, sebenarnya islam
tidak masalah akan terjadinya proses impor-ekspor keluar-masuk negara islam,
asalkan negara tujuan merupakan negara yang terikat perjanjian dengan negara
islam. Yang menjadi masalah hari ini adalah adanya hegemoni pasar dar para
kapitalis besar yang memperoleh modal dengan cara-cara yang rakus dan ribawi,
mereka lalu ditopang oleh organisasi perdagangan internasional agar dapat
menguasai perdagangan global. Inilah yang dilakukan WTO bersama Brazil yang
berusaha menghegemoni pasar ayam di negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Maka, tidak boleh ada yang namanya organisasi internasional yang berusaha
mengendalikan negara-negara di dunia. Tingkat yang paling tinggi haruslah
negara saja, tidak boleh ada lagi institusi di atasnya. Beginilah yang diatur
dalam Islam. Sehingga negara-negara mampu bertindak secara independen dan
berwibawa.
Post a Comment