Oleh Lafifah
Ibu Rumah Tangga Dan Pembelajar Islam Kaffah
Warga Palestina merayakan di jalan-jalan menyusul gencatan senjata yang ditengarai oleh Mesir antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, 21 Mei 2021. Namun, apakah ini Akhir dari konflik Palestina-Israel?
Jika ditelusuri dengan detail, sejarah pendudukan tanah Palestina oleh Israel sangatlah panjang. Namun, setidaknya, terdapat dua peristiwa sejarah penting yang menjadi fondasi perampokan tanah Palestina oleh Israel.
Dalam buku Jejak-Jejak Juang Palestina karya Musthafa Abd Rahman dijelaskan, dua peristiwa sejarah yang menjadi fondasi perampokan tanah Palestina itu berkisar pada 1900-an. Pertama, peristiwa Perjanjian Sykes-Picot pada 1916 antara Inggris dan Prancis.
Inggris dan Prancis membagi peninggalan Dinasti Ottoman di wilayah Arab. Pada perjanjian tersebut ditegaskan bahwa Prancis mendapat wilayah jajahan Suriah dan Lebanon, sedangkan Inggris memperoleh wilayah jajahan Irak dan Yordania. Sementara itu, Palestina dijadikan status wilayahnya sebagai wilayah internasional.
Kedua, peristiwa sejarah Deklarasi Balfour pada 1917. Perjanjian ini menjanjikan sebuah negara Yahudi di tanah Palestina pada gerakan zionisme. Di bawah payung legitimasi Perjanjian Sykes-Picot dan Deklarasi Balfour tersebut, warga Yahudi di Eropa mulai bermigrasi ke Palestina pada 1918.
Pada awal 1930-an, gerakan Zionis di Palestina berhasil mendapat persetujuan pemerintah protektorat Inggris untuk memasukkan imigran Yahudi ke Palestina secara besar-besaran. Reaksi rakyat Palestina saat itu tegas. Mereka akhirnya melakukan mogok total pada 1936.
Namun, negara-negara Arab, atas permintaan Inggris, membujuk pemimpin spiritual Palestina, Muhammad Amien Huseini, agar menginstruksikan kepada rakyat Palestina mengakhiri aksi mogoknya. Sewaktu itu, pemerintah protektorat Inggris menjanjikan bakal menyelesaikan masalah Palestina bila Amien bersedia menggunakan pengaruhnya terhadap rakyat Palestina.
Dengan jaminan Inggris dan atas nama solidaritas negara Arab, Amien Huseini pun memenuhi permintaan dan aksi mogok pun berakhir. Kemudian, Pemerintah Inggris bersama delegasi Palestina mengadakan kongres pada 1946-1947. Namun, sayangnya, kongres tersebut tidak menghasilkan keputusan apa-apa tentang Palestina.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian membentuk komite khusus untuk mencari penyelesaian masalah Palestina. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan studi lapangan, komite tersebut mengajukan dua usulan. Pertama, membagi dua tanah Palestina untuk Yahudi dan Arab, tetapi dengan adanya kesatuan sistem ekonomi.
Kedua, membentuk negara federal antara Yahudi dan Arab. PBB yang tentunya atas desakan Amerika Serikat menolak dua usulan dari komite itu. Mereka kemudian melempar masalah Palestina ke forum sidang Majelis Umum PBB pada 29 November 1947.
Pada saat itu pula Majelis Umum PBB bernomor 181 berisi tentang penegasan pembagian dua tanah Palestina untuk Yahudi dan Arab. Aturan itu juga memberi jangka waktu kekuasaan pemerintah protektorat Inggris di tanah Palestina hingga Agustus 1948.
Dalam resolusi bernomor 181 itu, pembagian tanah menjadi dua bagian itu dalam porsi 56 persen untuk Yahudi dan 44 persen untuk Arab. Acara pemungutan suara resolusi itu dengan praktis tidak menimbulkan hambatan, dengan capaian 33 negara tercatat mendukung, 13 menolak, dan 10 abstein.
Peta Palestina versi arogansi Trump
Hasil ini membuat gerakan zionisme di Palestina mengeklaim resolusi tersebut. Selanjutnya, mereka berupaya membentuk pemerintahan sementara Yahudi. Pada tahun berikutnya, David Ben Gourion mengumumkan secara resmi berdirinya negara Israel dengan berpijak pada legitimasi resolusi PBB nomor 181. Beberapa saat dari pengumuman itu, Pemerintah Amerika Serikat menyatakan pengakuannya terhadap negara Israel yang kemudian disusul dengan pengakuan dari Uni Soviet.
Selanjutnya, meski tak seluruh negara di dunia mengakuinya, negara baru bernama Israel itu pun berhasil masuk menjadi anggota penuh PBB. Inilah perampokan dengan "telanjang mata" tanah Palestina yang menyisakan duka bagi masyarakat Palestina. (Republika.co.id)
Berbeda ketika wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani (Ottoman) tahun 1867-1909, maka tidak ada upaya lain yang dilakukan Yahudi kecuali dengan membujuk Turki Utsmani agar mau menyerahkan wilayah Palestina kepada Yahudi, atau setidaknya mengizinkan imigrasi secara resmi bangsa Yahudi ke wilayah tersebut.
Namun, upaya itu ditolak oleh Khalifah Ottoman, saat dipegang oleh Sultan Abdul Hamid II. Sultan Abdul Hamid II mengingatkan, merupakan bahaya yang sangat besar bila dibukanya tanah Palestina untuk Yahudi. Pada tahun 1882, pemerintah Ottoman mengeluarkan dekrit yang melarang didirikannya pemukiman permanen Yahudi di Palestina, sekaligus menolak izin perpindahan bangsa Yahudi ke Palestina.
Berbagai upaya dilakukan oleh tokoh zionis seperti Theodore Herzl. Herzl membujuk Sultan Abdul Hamid II agar mau mengizinkan kedatangan migran Yahudi ke Palestina. Tahun 1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Abdul. Delegasi Herzl menyodorkan sejumlah tawaran seperti (1) memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan; (2) membayar semua utang pemerintah Turki Utsmani yang mencapai 33 juta poundsterling; (3) membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank; (4) memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta poundsterling; dan (5) membangun sebuah universitas Utsmani di Palestina. Namun, semua tawaran itu ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II.
"Sesungguhnya, saya tidak sanggup melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah Palestina. Sebab ini bukan milik pribadi ku, tetapi milik rakyat. Rakyatku telah berjuang untuk memperolehnya sehingga mereka siram dengan darah mereka. Silahkan Yahudi menyimpan kekayaan mereka yang milyaran itu. Bila pemerintahan ku ini tercabik-cabik, saat itu baru mereka dapat menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, maka (meskipun) tubuhku terpotong-potong adalah lebih ringan ketimbang Palestina terlepas dari pemerintahanku," kata Sultan Abdul Hamid II yang ditujukan kepada Theodore Herzl. ( Republika.co.id)
Maka sudah seharusnya seluruh kaum muslimin wajib tahu bahwa solusi Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya yang terjajah tidak lain adalah adanya kembali institusi pemersatu seluruh negeri-negeri muslim yaitu khilafah.
Wallahu a'alam bissawab.
Post a Comment