SINGKONG, FOOD ESTATE DAN KEMANDIRIAN BANGSA


Oleh: Nuraminah, S.K.M

Presiden Jokowi mencanangkan strategi ekstensifikasi pertanian di luar Pulau Jawa melalui pengembangan Food Estate. Food Estate direncanakan menjadi lumbung pangan dengan penerapan pertanian modern berbasis mekanisasi dan teknologi terbaru.

Seperti yang dilansir dari inews.id.com Menteri pertahanan dan keamanan, Prabowo Subianto menuturkan, Food Estate merupakan keputusan yang dilakukan oleh presiden Jokowi untuk mengatasi semua kemungkinan yang akan dihadapi bangsa Indonesia terkait krisis pangan dunia sebagai akibat dari pandemi yang terjadi saat ini. Demi terciptanya kemandirian pangan dan tak bergantung pada negara lain.

Singkong telah ditetapkan sebagai prioritas proyek food estate (lumbung pangan). Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menargetkan pembangunan area lahan kawasan perkebunan singkong yang terletak di Desa Tewaibaru, Kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah pada 2021 mencapai 30 ribu hektar. Upaya ini adalah bagian dari program Kemenhan dalam mewujudkan cadangan logistik strategis nasional. Tanaman singkong dipilih karena singkong mengandung karbohidrat dan dapat dimodifikasi menjadi bentuk makanan seperti tepung, mie, roti atau bentuk lainnya.

Kebutuhan pangan merupakan hajat pertama dan utama yang harus di penuhi oleh manusia. Sebab, dengan makanan yang mengandung karbohidrat kemudian di makan lalu diolah didalam tubuh menjadi energi hingga dapat beraktivitas sehari-harinya. Namun, mari kita resapi bersama-sama bahwa singkong dijadikan sebagai food estate, adakah yang sudah merasakan keganjalan? Iya benar sekali keganjalan demi keganjalan itu bermunculan mulai dari kenapa harus singkong yang dipilih sedangkan di Indonesia sendiri yang menjadi bahan pokok utama pemenuhan kebutuhan hidupnya sebagian besar adalah nasi, yang berasal dari tanaman padi. Bahkan padi atau beras merupakan salah satu komoditi impor terbesar di Indonesia, pada 2021 saja beras diimpor dengan jumlah tidak kurang dari 1 juta ton.

Kemandirian pangan adalah isu strategis bagi kemandirian bangsa. Oleh karena itu, Negara sudah semestinya membuat kebijakan yang tepat demi terwujud kedaulatan dan ketahanan pangan.

Apabila pangan pokok adalah padi, maka lumbung pangan semestinya diprioritaskan ialah padi. Adapun bila terkendala kurangnya lahan yang sesuai karena penguasaan oleh swasta maka harus ada kebijakan tegas menghentikan alih fungsi lahan agar lahan yang cocok bisa ditanami padi. Juga harus ada kebijakan menyokong pertanian dan menghentikan impor.

Karena dalam sistem kapitalis, pengembangan kawasan Food Estate melibatkan korporasi baik itu BUMN maupun swasta. Yang pada akhirnya pihak yang paling diuntungkan ialah pihak swasta.

Terlepas dari masalah Food Estate semestinya kita mengerti bahwa akar permasalahan di bidang pertanian salah satunya adalah masalah kepemilikan dan distribusi lahan pertanian. Belum lagi petani yang sewa tanah untuk bertani juga sangat banyak jumlahnya.

Inilah karakter sistem kapitalisme yang telah lama mengakar di negeri ini, menjadikan kesejahteraan masyarakat termasuk petani tidak lagi menjadi prioritas utama, sebab para pemilik modal nantinya akan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil pertanian, dengan menetapkan harga yang serendah-rendahnya terhadap hasil panen yang ada, jika sudah demikian maka kesejahteraan masyarakat semakin menjadi angan-angan belaka.

Belum lagi, para pemilik modal besar mampu membeli dan memiliki lahan seluas-luasnya untuk mereka miliki dan kelola, hal ini akan mempersempit lahan pertanian bagi rakyat menengah ke bawah dengan kepemilikan lahan yang terbatas, ini juga dipastikan akan menghalangi produktivitas masyarakat akan “sumbangsih” mereka terhadap hasil pertanian disebabkan keterbatasan kepemilikan lahan.

Konsep pertanian dalam islam

Jika pemerintah benar ingin mensejahterakan masyarakat melalui Food Estate, maka harus dikembalikan pada konsep bahwa bumi ini milik Allah SWT. Sepatutnya diatur dengan aturan dari-Nya.
Di dalam Islam status sumber daya energi dari aspek kepemilikannya, yang tak lain adalah kepemilikan milik umum.
Dengan status tersebut, sangat tidak dibenarkan sumber daya energi itu dikuasai oleh swasta.

Ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Islam memandang tanah memiliki tiga status kepemilikan. Tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian.

Tanah milik umum yaitu yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta; Dan tanah milik negara, di antaranya tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dll.

Berdasarkan konsep kepemilikan ini, maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian.

Islam juga melarang menyewa lahan pertanian. Setiap pemilik tanah pertanian harus mengelola lahannya dan tidak boleh disewakan. Jika tidak mampu maka pinjamkan atau berikan kepada saudaranya.

Kepemilikan tanah bagi warga dipermudah dengan setiap warga negara yang berhasil menghidupkan tanah mati maka tanah tersebut berhak menjadi miliknya.

Aturan Islam yang lainnya adalah barang siapa yang mempunyai lahan dan tidak diolah berturut-turut selama 3 tahun, maka negara akan mengambil lahan tersebut dan akan diberikan kepada siapa saja yang mau dan mampu mengolahnya menjadi produktif kembali.

Hal ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana petani banyak namun lahannya tidak ada, juga dengan modal usahanya yang minim membuat mereka kesulitan untuk produktif. Ditambah dengan banyak tengkulak yang mengambil keuntungan besar dengan memasang harga dari petani sangat rendah dan persaingan dengan impor yang membuat petani tak sanggup menahan kondisi pertaniannya dan lebih memilih menjual lahannya.

Dalam hal pemenuhan pangan, tanggung jawab Khilafah secara utuh tampak mulai dari pengaturan produksi, distribusi bahkan konsumsi rakyat. Karena Khilafah harus memastikan kebutuhan pangan pada setiap individu rakyatnya terpenuhi.
Ketika ada di antara rakyat Khilafah yang kesulitan mendapatkan pangan lantaran sakit parah, cacat atau halangan lainnya maka pemenuhan pangannya wajib disediakan oleh negara secara lengkap dan layak.

Fungsi kepemimpinan akan didukung oleh penerapan syariat Islam secara kaffah termasuk sistem ekonomi Islam. Penerapan politik ekonomi Islam akan mampu mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Wallaahu a’lam bishshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post