PP CIPTAKER, LIMBAH BAHAYA DAN KEBIJAKAN KAPITALISTIK


Oleh : Junari, S.Ikom

Limbah padat yang sangat berbahaya dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industry untuk bahan baku atau keperluan sector kontruksi bahwa Fly ash batu bara  (FABA) dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya kini dikategorikan sebagai limbah non-B3, Pemerintah menghapus Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari daftar jenis limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Kategori FABA baru ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja. Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penghapusan FABA dari jenis limbah B3 terlampir dalam lampiran XIV.

Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). PP 22/2021 itu sendiri diteken Presiden RI Joko Widodo pada 2 Februari 2021 untuk menggantikan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Dalam ketentuan baru, jenis limbah yang dikeluarkan dari kategori Limbah B3 itu adalah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). https://news.detik.com/berita/d-5490466/pp-ciptaker-hapus-abu-batu-bara-dari-daftar-limbah-bahan-berbahaya-beracun.

Pasal 88 UU Ciptaker berbunyi: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha atau kegiatannya.

Sementara pada Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sangat ketat terhadap lingkungan. Karena setiap orang atau korporasi bertanggungjawab mutlak apabila kegiatannya mencemari lingkungan tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Apindo Haryadi B Sukamdani menyebut bahwa sebanyak 16 asosiasi di Apindo sepakat mengusulkan penghapusan FABA dari kategori limbah berbahaya. Mereka berargumen bahwa beberapa hasil uji menyatakan FABA bukan limbah B3.

Kebijakan sebelumnya FABA jenis B3 (bahan berbahaya dan beracun) sudah tidak menjadi permasalahan sebab pemerintah mengeluarkan PP Ciptaker agar (FABA) tidak dikategorikan limbah yang berbahaya, meskipun penghapusan FABA sebagai limbah yang tidak berbahaya, namun permasalahan ini mengkhawatirkan seluruh rakyat, sebab pada dasarnya limbah yang berasal dari fly ash batu bara  (FABA) dari kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebelumnya dikategorikan B3, akan tetapi oleh PP CIPTAKER terbaru menghapus dalam kategori ini.

Dalam kebijakan kapitalistik korporasi dari tanggungjawab pengelolaan limbah dengan mengambil keuntungan atas limbah yang berbahaya, tidak menghiraukan dari segi ancaman limbah yang berbahaya  ini, melainkan hanya melihat dari segi keuntungan dengan mengalihkan ke beban biaya negara dan meracuni atau  membahayakan rakyat serta merusak lingkungan.

Inilah hasil pengadopsian pemikiran kapitalistik yang tertuang dalam kebijakan dan aturan dari hasil kesepakatan yang di buat oleh manusia, untuk dijadikan pedoman dalam mengambil kebijakan, sehingga aturan hanya berpihak kepada yang membuat hukum atas dasar kepentingan, maka tidak sewajarnya aturan yang di taati hasil dari kesepakatan orang-orang yang tentunya memiliki keterbatasan, sehingga dalam mengambil kebijakan tidak akan ada yang melakukan semata mata karena kebutuhan rakyat melainkan keuntungan yang akan di gapai oleh orang orang berkepentingan. 

Tentu akan berbeda jauh apabila kebijakan saat ini yang sudah terlihat kerusakannya serta hanya aset manfaatnya semata, tidak akan ada yang benar-benar riil dalam memutuskan keputusan yang melahirkan solusi, sebab yang menjadi tolak ukurnya adalah aturan buah dari sistem kapitalisme yang sudah nyatanya rusak dari akar sehingga bagaimanapun cara untuk merubahnya tetap akan sama pada hasil awal sistem yang rusak akan terus melahirkan kerusakan.

Hanya kembali kepada sistem islam yang mengikuti metode kenabian dengan penerapan islam secara total atau keseluruhan (kaffah) yang akan menuntaskan problem yang ada,  yang bisa mengatasi permasalahan, sehingga limbah yang berbahaya harus di waspadai bukan malah mengambil keuntungan, dan keberadaan limbah ini pula sangat merusak lingkungan hidup, maka dengan sistem kapitalisme yang rusak tidak akan mampu membedakan antara kemaslahatan dan kepentingan materi. 

Sudah sewajarnya umat islam kembali ke ranahnya yaitu Islam, karena islam  bukan saja mengatur urusan ibadah kepada ALLAH SWT, melainkan merangkap keseluruhannya termaksud kebijakan aturan yang mengatur manusia di atas muka buminya ALLAH, maka apabila seorang hamba sadar statusnya di dunia hanya hamba bukan pencipta, maka yang berhak untuk mengatur manusia bukan manusia pula, melainkan yang maha pencipta manusia itu sendiri, ialah ALLAH SWT. Agar  didalam kebijakan tidak ada penemuan titik terlemah karena yang memberikan aturan untuk diterapkan kepada yang berstatus  hamba yang memiliki keterbatasannya, maka sebagai individu yang sadar atas keberadaan pencipta seharusnya sadar atas islam itu sempurna, mampu memberikan solusi yang tepat.

“apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapa yang lebih baik daripada (Hukum) ALLAH bagi orang yang meyakini (agamanya). (QS AL-Ma’idah[5]:50).

Walhasil hanya dengan kembali kepada islam dalam naungan negara  khilafah yang akan mampu menciptakan individu yang bertaqwa kepada ALLAH, melaksanakan tanggung jawab meriayah serta  melindungi rakyatnya dari berbagai kerusakan, kesehatan, dan keselamatan. Dan seorang khalifah akan memastikan kemaslahatan rakyat, bukan hanya kepada jajaran pejabat, khalifah bertanggungjawab atas semua penduduk yang berada dalam naungan khilafah, maka keberadaan sistem hari ini sudah sepatutnya di ganti dengan sistem islam yang mampu mengatasi segala problematika, pasalnya islam hadir dengan islam rahmatan lil allamin.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post