Pemerintah dari tahun ke tahun selalu mencanangkan untuk mencintai produk lokal. Baik produk dari nelayan, petani maupun UMKM. Namun, nyatanya gaungan itu tidak sejalan dengan kebijakan yang ditempuhnya.
Terlansir di tirto.id, 17/03/2021, sebagaimana keputusan dalam rapat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 25 Januari 2021. Tahun 2021 pemerintah membuka keran impor garam sebanyak 3,07 juta ton. Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Maritim dan Investasi Safri Burhanuddin mengatakan impor garam itu bukan hanya untuk tahun berjalan, melainkan tahun yang akan datang, dengan dalih “menjaga kestabilan stok garam industri.” Bersamaan dengan itu, Safri juga memastikan target swasembada garam yang dicanangkan tahun 2022 batal tercapai.
Selain itu pemerintah mengimpor garam dengan dalih, garam lokal kuantitas dan kualitas belum sesuai dengan kebutuhan industri, (Kompas.com, 19/03/2021).
Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI) Jakfar Sodikin menyayangkan keputusan impor garam yang terus berlanjut, apalagi disertai pembatalan target swasembada. APGI menilai impor garam akan semakin membuat petambak terpuruk karena harga garam di tingkat petani akan semakin tertekan seiring membanjirnya pasokan garam impor. Belum lagi masuknya garam impor akan membuat pengusaha semakin enggan menyerap garam petani.
Demikianlah pemerintah saat ini, alih-alih menempuh kebijakan sistematis untuk pemenuhan kebutuhan garam industri. Yakni mencetuskan ide atau metode untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas garam lokal. Namun, hal ini tidak ada dalam benak mereka, yang ada hanyalah mengambil keputusan untuk mengimpor. Padahal sejatinya, dengan melakukan impor bukan merupakan solusi atas permasalah ini.
Justru dari kebijakan yang salah akan ada yang menjadi tumbal. Tumbal pemerintah untuk kebijakannya kali ini yakni petani garam.
Karena, petani garam akan mengalami menderita di atas hasil panen yang melimpah namun tidak laku di pasaran. Jeritan demi jeritan tidak akan pernah digubris oleh pemerintah.
Akan tetapi, bukan hanya petani garam yang dilumpuhkan oleh pemerintah. Melainkan sadar atau tidaknya, pemerintah secara langsung sedang memperosoti ekonomi negara dan menggantungkan terus pemenuhan kebutuhan ke pihak asing. Karena, dengan mengimpor tersebut pemerintah telah menghalangi swasembada. Ketika swasembada dihalangi, maka ketergantungan akan pihak asing akan tetap berlanjut. Negara akan tetap menjadi pasar konsumtif bagi negara-negara asing, terutama negara penjajah.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Islam akan melepaskan diri dari cengkeraman pihak asing. Islam akan menempuh swasembada. Seperti terkait garam yang dinilai kurang terhadap kuantitas dan kualitasnya. Negara Islam akan fokus pada usaha memperbaiki kualitas dan kuantitas barang lokal daripada mengimpor.
Walaupun dalam Islam kegiatan ekspor-impor diperbolehkan. Namun, ada batasan yang harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan atau khilafah selaku kepala negara dalam melakukan kegiatan ekspor-impor.
Adapun yang harus diperhatikan yaitu pelaku yang menjadi partner dalam melakukan kegiatan tersebut. Yakni, kafir harbi, kafir harbi fi'lan, kafir mu'ahad dan warga negara Islam.
Adapun warga negara kafir harbi, diperbolehkan tetapi harus memiliki visa khusus. Sedangkan warga negara kafir harbi fi'lan sama sekali tidak diperbolehkan. Berbeda dengan warga negara kafir mu'ahad boleh atau tidaknya tergantung pada isi perjanjian antara khilafah dengan negara mereka. Sedangkan untuk warga negara Islam bebas melakukan perdagangan, tetapi mereka tidak boleh mengekspor dan mengimpor komoditas yang bisa melemahkan kekuatan negara dan memperkuat musuh.
Namun, hal ini akan kita jumpai hanya dalam negara Islam yang menerapkan Islam secara sempurna dan total. Yakni yang dikenal dengan negara khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bishshawaab
Post a Comment