Yasriza Nanda (Peneliti, Komunitas Annisaa Ganesha)
Menteri perdagangan, Muhammad Lutfi, membeberkan rencana impor
garam tahun ini. Tepatnya pada Januari lalu, pemerintah memutuskan akan
mengimpor garam sebanyak 3 ton. Hal ini karena kebutuhan garam yang terus
meningkat setiap tahunnya dan tahun ini mencapai 4,67 ton (Tirto.id, 2021).
Jumlah ini melonjak seiring naiknya kebutuhan garam industri di Indonesia.
Namun sayang, naiknya kebutuhan garam ini tidak seiring dengan
meningkatnya produktivitas garam lokal. Justru garam lokal malah tersisa
800.000 ton di awal Januari gara-gara pemerintah malah impor. Tak heran jika
petani garam lokal semakin terhimpit dengan harga yang kian menurun serta tidak
adanya jaminan pasar. Akibatnya banyak petani yang beralih pekerjaan sebagaimana
yang disampaikan oleh ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia (APGI), Jakfar
Sodikin (Tirto.id, 2021).
Susi Pudjiastuti, mantan menteri kelautan dan perikanan, juga menyayangkan
kegiatan impor garam yang cukup tinggi. Menurutnya impor garam harusnya diatur
tidak melebihi 1,7 ton per tahun, sehingga harga garam lokal tidak merosot
turun. Beliau mencontohkan kondisi di tahun 2015-2018, dimana pengaturan jumlah
impor bisa mempertahankan harga garam lokal berkisar pada Rp1.500-Rp2.500
(Bisnis.com, 2021)
Fenomena ini bukanlah terjadi satu dua kali saja. Hal ini tentu
menyisakan tanda tanya mengingat Indonesia memiliki garis pantai terpanjang
kedua di dunia, namun masih tidak bisa mandiri dalam hal produksi garam untuk
kebutuhan di dalam negeri.
Impor termasuk kedalam salah satu kegiatan ekonomi yang memerlukan
pengaturan dan pengawasan oleh negara. Akan tetapi, kenyataannya pemerintah
sering absen dan bahkan mengambil keputusan yang bertolak belakang dengan apa
yang dibutuhkan dan diharapkan oleh masyarakat. Apakah ini hanya dari kesalahan
salah satu pihak? Sepertinya tidak, buktinya pergantian menteri tetap juga
tidak membawa banyak perubahan. Maka sudah pasti yang salah ada di dalam
sistemnya itu sendiri. Sehingga kejadian ini akan terus berulang terjadi jika
sistem atau kebijakan mendasar ekonominya tidak diubah.
Negara seharusnya tidak boleh impor pada saat panen raya. Kalaupun harus impor, itu karena kebutuhan mendesak disaat panceklik misalnya, yaitu ketika kebutuhan dalam negeri tidak mampu dipenuhi oleh petani lokal. Sedangkan hari ini, ketika panen raya pemerintah malah impor garam yang tidak berpihak pada petani lokal. Namun, jika dalam pemerintahan Islam, InsyaAllah keberpihakan pemimpinnya benar-benar akan di sisi rakyatnya, karena pemimpin dalam Islam adalah sebagai raa'in, pemimpin yang mengurusi urusan rakyatnya, yang sangat takut kepada Allah atas setiap yang diurusinya jika ada yang tidak terpenuhi kebutuhannya -alih-alih terdzalimi. Begitulah dalam sistem Islam, memang politik pemerintahannya adalah pemeliharaan urusan umat, sehingga kepentingan umat yang diutamakan dengan mengikuti ketentuan hukum syara’. Bukan mengikuti nafsu bejat para penguasa yang hanya memikirkan kenikmatan semu sekejap di dunia, tanpa memandang akibatnya di akhirat kelak.
Post a Comment