No title


Waspada Harapan Palsu “Restorative Justice” UU ITE

Oleh : Umma Anta

Bukti Nyata Arogansi 

Kebebesan berbicara nyatanya tidak sepenuhnya dirasakan nyata oleh masyarakat hari ini. Hal ini jelas terlihat pada semakin banyaknya aktivitas “membungkam” suara kritis masyarakat, terutama suara kritis umat Islam yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan opini dakwah Islam yang sampaikannya, meluruskan berbagai kedzoliman penguasa dari lahirnya aturan yang tidak memihak pada kepentingan umat dan sebaliknya malah mengedepankan kepentingan penguasa capital saja. 

Masih sangat jelas terlintas di benak kita saat banyak ulama dan aktivis dakwah Islam akhirnya harus “melanjutkan perjuangannya” di balik jeruji. Sebut saja, aktivis dakwah syariah Khilafah, Ustadz Ali Baharsyah yang ditahan pada bulan April tahun 2020 karena beberapa postingan dakwahnya, disusul kemudian akhina Despianoor dari Kab. Kotabaru, Kalsel yang juga harus berurusan dengan kepolisian karena dugaan postingan facebooknya yang berisi konten dakwah Islam dan masih banyak lagi aktivis Islam lainnya yang karena sikap kritisnya terhadap kebijkan dzolim penguasa dan berusaha untuk menegakkan dakwah di tengah umat akhirnya malah dilakukan penangkapan terhadap mereka.

Waspada Jebakan Revisi

Semakin banyaknya upaya penghentian suara kritis umat kepada penguasanya semakin membuktikan bahwa kondisi hari ini ada kemiripan dengan situasi Orde Baru, dimana suara kritis umat tak segan dibungkam tanpa ampun oleh penguasa saat itu. Hal ini secara jelas juga disampaikan oleh Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas yang menilai “bahwa ada kesamaan situasi Orde Baru itu dengan saat ini, ada kesamaan. Sekarang orang menilai, termasuk saya, sudah mulai bergerak ke arah otoritarianisme”, kata Busyro dalam acar Mimbar Represi yang disiarkan pada akun Youtube Amnesty International Indonesia, Sabtu (20/2/2021).

Seolah ingin memberikan kesejukan terhadap situasi yang semakin memanas ditegah masyarakatnya, kemudian keluarlah sinyal dari penguasa negeri ini yang ingin melakukan revisi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berharap bahwa revisi UU ITE ini diharapkapkan akan lebih menjunjung prinsip keadilan. 

Bak gayung bersambut, Kapolri yang belum lama dilantik, Jendral Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat perintah pedoman penanganan kasus yang berkaitan dengan UU ITE. Dalam Surat Edaran No. 2/II/2021, Kapolri Sigit memisahkan penanganan kasus dalam UU ITE ke dalam dua kategori, yaitu pertama untuk diselesaikannya kasus yang bersangkutan dengan restorative justice, dan kedua kasus bisa dilanjutkan dengan pengegakkan hukum seperti biasa (KumparanNews.com/22/02/2021).

Lantas bisakah keadilan bagi suara kritis umat ini mendapatkan tempatnya dan akan memberikan perlindungan bagi dakwah Islam yang Menuntut diterapkannya keadilan yang tak pandang status sosial antara pejabat negara atau rakyat biasa, sehingga tidak ada lagi istilah “keadilan hukum hanya tajam kebawah, tetapi tumpul keatas”?!.

Islam Kaffah Meniscayakan Keadilan Haqiqiy

Berbeda dengan konsep keadilan dalam pandangan hidup  Sekuler-Demokrasi hari ini. Islam adalah sistem yang manusiawi, yakni sesuai dengan fitrah manusia secara keseluruhan. Hal ini tidak lain karena Islam sebagai aturan kehidupan yang datang dari Allah swt, Dzat yang telah menciptakan manusia, Yang Maha tahu akan ciptaanNya dan karenanya aturan-aturannya pun pasti sempurna dan bisa menjadi solusi bagi setiap permasalahan kehidupan manusia secara menyeluruh, tuntas dan paripurna. 

Menginginkan rasa keadilan adalah fitrah setiap manusia, dan sebaliknya manusia secara fitrahnya juga menolak dan membenci kejahatan, kedzoliman dan penindasan. Karenanya, secara fitrah pula manusia akan selalu berpihak pada penegak keadilan dan berempati terhadap orang-orang yang terdzolimi, tertidas dan tak mendapatkan keadilan. 

Dalam aktivitas memutuskan perkara, dalam tatanan hukum Islam seorang qadhi atau hakim harus menggunakan standar syariat Islam dalam menungkapkan bukti-bukti atau kesaksiaan, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan, dan terlebih dahulu memberikan kesempatan bagi kedua pihak yang bersengkata untuk mendengarkan persaksiaan mereka semua secara mencukupi. Hal inilah yang tidak kita saksikan dalam penegakkan keadilan hari ini! Tak jarang pemutusan suatu perkara hukum hanya “menyasar” satu pihak yang dianggap merugikan pihak lainnya?! 

Islam sebagai pandangan dan aturan hidup yang berjalan diatas hukum Allah SWT senantiasa mensyaratkan adanya perwujudan rasa keadilan secara umum di tengah-tengah masyarakat. Bahkan secara lebih khusus lagi, Islam juga telah menetapkan syariat agar keadilan dapat diwujudkan pada setiap aktvitas penegakkan peradilan dan pengadilan suatu perkara urusan umat. Standar pemutusan perkara dalam Islam jelas hanya akan dilakukan menurut hukum syariat yang telah Allah SWT turunkan, sebab hukum Allah SWT sajalah panduan hukum terbaik. Apakah hukum jahilliyah yang mereka kehendaki ? Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi kaum yang yakin ? (TQS. Al-Maidah : 50). Lantas masikah kita menghendaki cacatnya penegakkan keadilan terus menerus?! 

Wallahu alam Bishowab. [].

Post a Comment

Previous Post Next Post