Upaya Kaum Feminis Mencitraburukan Pernikahan



Oleh Reka Nurul Purnama
Pendidik Generasi

Tingginya pernikahan anak perempuan Indonesia di masa pandemi yakni mencapai 64.000 anak seolah menjadi gayung bersambut dengan peringatan hari perempuan Internasional. Hari Perempuan Internasional atau International Womens Day 2021 yang diperingati setiap 8 Maret, pada tahun ini mengambil tema kampanye "Choose to challenge". Berdasarkan informasi dari laman komunitas International Womens Day (IWD) tema itu diambil sebagai bentuk bahwa kaum perempuan berani mengambil pilihan dan tantangan. Pesan dalam kampanye ini adalah melawan ketidaksetaraan, bias, dan stereotip terhadap kaum perempuan, juga siap membantu terwujudnya dunia yang inklusif.

Menikah di usia dini di zaman sistem kapitalisme saat ini memang cenderung mengarah kepada kekeliruan. Pernikahan yang berlangsung tidak jarang terjadi karena desakan ekonomi,  pergaulan bebas, adat yang berlaku di wilayah setempat dan perjodohan yang berdasarkan asas manfaat bukan agama. Namun, kekeliruan ini tidak mengurangi nilai dari sebuah pernikahan yang merupakan perjanjian agung antara seorang hamba dengan Tuhannya, Allah Swt. Menikah adalah ibadah sunnah terlama yang sangat dianjurkan oleh agama, kedudukannya begitu mulia ketika dijalankan sesuai dengan rambu-rambu syariat. 

Namun kekeliruan dalam motifasi menikah atau menikahkan, ditambah dengan tidak memiliki bekal ilmu agama tentang peran suami istri dalam Islam, yang menyebabkan pernikahan tidak harmonis. Dalam kasus ini memang terkesan kaum perempuan adalah pihak yang tertindas karena tidak diberikan opsi untuk memilih, seolah-oleh dipaksa menikah. Sehingga lagi dan lagi ini menjadi celah bagi kaum feminis yang menyuarakan kesetaraan gender sedari dulu, lagi-lagi menuduh ajaran Islam, menyerang salah satu ajaran Islam yang mulia yakni menikah. Menikah di gambarkan sebagai hal menakutkan dan mengekang perempuan. Islam dalan sistem kapitalisme selalu menjadi pihak yang tertuduh padahal bukan ajarannya yang salah tetapi manusia nya yang tidak memiliki ilmu agama dan enggan menerapkan ajaran-Nya.
Dalam pernikahan sebetulnya yang menjadi permasalahan adalah kesiapan bukan umur. Yang adalah persiapan seseorang yang hendak menikah, tidak cukup dengan pelatihan-pelatihan yang hanya sekadar formalitas, tetapi butuh bekal agama yang mantap. Sehingga ketika nanti menikah, dia bisa menjalankan perannya masing-masing baik istri atau suami berdasarkan Islam dan takut kepada Allah ketika hendak bermaksiat atau tidak menjalankan perannya dengan benar. Penanaman kemantapan untuk menikah perlu ditanamkan sejak dini, bahwa menikah bukan hanya main-main dan sekadar cinta, atau hanya mengikuti keinginan orang tua tetapi harus atas dasar keimanan. Maka peran agama tidak bisa ditepiskan dalam proses pernikahan, karena ini adalah puncak keberhasilan pernikahan. Mengubah minimal seorang perempuan boleh menikah yakni menjadi 19 tahun tentu bukan solusi berarti ketika ilmu dan bekal pernikahan tetap tidak laksanakan.

Feminis sudah jelas tujuannya adalah menjauhkan agama dari kehidupan, dengan menyoroti beberapa hal dalam Islam  yang dipandang baik oleh Islam semisal menikah diubah mindset nya menjadi seolah-olah terlihat buruk karena mengekang. Mencitraburukan ajaran Islam adalah salah satu agenda dari feminis yang sudah kentara terasa dan terlihat. Maka, perlulah kaum muslim waspada terhadap isu-isu yang digencarkan untuk menyerang Islam sehingga menjauhakan umat dari Islam. Padahal hanya Islam yang mampu memuliakan perempuan dan manusia secara keseluruhan, karena Islam adalah rahmat yang diturunkan Allah Swt. melalui Muhammad saw. untuk seluruh alam semesta. 
Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post