Revisi UU ITE, untuk Kepentingan Siapa?

Oleh: Afifah Azzahra

Alumni Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tampaknya bukan menjadi wacana lagi. Setelah berlaku  Pelaksanaan UU No.19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU  No.11 Tahun 2008 tentang ITE, ternyata menimbulkan kontroversi karena ada yang menilai memuat pasal-pasal yang terlalu lentur atau pasal-pasal karet. Maka tim kajian UU ITE telah dibentuk berdasarkan Keputusan Menkopolhukam No. 22 Tahun 2021.

Pasal-pasal yang dinilai karet dan multitafsir dalam UU ITE mulai ditelusuri tim yang dibentuk pemerintah. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian. Menurut data yang dihimpun koalisi masyarakat sipil, dalam kurun 2016-2020, UU ITE dengan pasal karetnya telah menimbulkan tingkat penghukuman rata-rata mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan sangat tinggi, mencapai 88% (676 perkara).

Busyro Muqoddas, Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah bahkan menilai saat ini negara mengarah ke otoritarianisme dengan beberapa indikasi. Pertama, masifnya buzzer, orang yang kritis diserang buzzer dengan berbagai macam cara. Kedua, teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ketiga, terdapat UU ITE yang memiliki karakter pelembagaan buzzer dan sudah banyak korbannya.

Namun revisi UU ITE ini ternyata bukan untuk memberi ruang bagi kritik rakyat atas kebijakan, justru bisa menjadi cara rezim makin membungkam sikap kritis. Prinsip musyawarah berarti tidak ada dominasi kelompok-kelompok determinan dominan tertentu di dalam memengaruhi kebijakan-kebijakan negara. Rakyat yang mengeluarkan pendapatnya sebagai upaya check and balance diposisikan sebagai oposisi yang dinilai pengganggu.

Hal seperti ini biasa terjadi dalam demokrasi, sistem yang memberikan jaminan kebebasan akan tetapi praktiknya justru menimbulkan kontradiksi. Kelemahan sistem demokrasi berawal dari asas sekularisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Dalam asas ini kedaulatan hukum berada di tangan manusia, hukumnya dibuat sebenarnya akan disesuaikan untuk kepentingan tertentu.

Sebenarnya dalam sepak terjang peradaban manusia di muka bumi, hanya sistem pemerintahan Islam yang mampu merealisasikan upaya check and balance dari rakyat kepada penguasa. Pemerintah Islam memberikan ruang kepada rakyatnya, baik ormas, parpol Islam, ulama, atau rakyat biasa untuk melakukan koreksi atau muhasabah lil hukam. Hal ini bersandar pada hadits, Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa atau pemimpin yang zalim.” (HR Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Adapun dalam pemerintah Islam mekanisme untuk melakukan muhasabah bisa dilakukan secara individual oleh setiap Muslim atau melalui wakil rakyat (majelis ummah). Rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan khalifah juga bisa mengadukan ke Mahkamah Madzalim (pemutus perselisihan antara rakyat dengan penguasa). Dengan demikian, yang terbentuk dalam daulah Islam adalah suasana amar makruf nahi mungkar.

Masyarakat melakukan muhasabah kepada penguasa karena dorongan keimanan bukan tendensi apapun karena Islam akan membawa keberkahan jika diterapkan. Sayangnya dalam kehidupan sekarang yang diatur dengan hukum buatan manusia konsep jaminan muhasabah hanya teoritis semata. Wallahua’lam.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post