Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
Terulang kembali kebijakan yang sudah dipublish dan ternyata bertolak belakang
dengan kenyataan. Sebelumnya kebijakan
miras yang sudah diumumkan tapi ditarik kembali karena banyak keluhan. Pemerintah pun sudah menyatakan
mencintai produk dalam negeri dan membenci produk luar negeri, tapi nyatanya mengimpor beras tetap
dilaksanakan.
Kebijakan tersebut bagaikan
tarian poco-poco, maju mundur, bolak balik, membuat rakyat bingung
dalam ketidakpastian saat harus mengikuti kebijaksanaan pemerintah mengatur regulasi perekonomian.
Bayangkan saja, disaat Jokowi
menyatakan mencintai produk dalam negeri, beras
impor lebih dipilih dari pada beras lokal. Bahkan, wacana impor kembali
mencuat. Sebanyak 1 juta-1,5 juta ton beras akan diimpor dalam waktu dekat ini.
Tentu maraknya kebijakan impor
mengakibatkan dampak negatif bagi petani. Padahal kondisi potensi kekayaan,
lahan yang subur, serta musim panen yang sedang berlimpah, sangat mendukung
terwujudnya ketahanan pangan. Semua itu
terkalahkan dengan hasrat masifnya impor pangan, yang didukung oleh perpres.
Sektor ekonomi berfokus pada pasar
bebas apalagi ditunjang dengan peraturan presiden yang mempermudah laju sektor
impor, alhasil
penguasa yang hadir hanya fasilitator yang menerima agreement perdagangan bebas.
Beras akan
tetap impor, harga beras jatuh akibat persaingan tidak sehat antara beras lokal
dan beras luar negeri. Maka, perekonomian
petani makin jatuh. Kebijakan impor ini membuat petani menjerit. Atas
pesanan siapakah impor ini dilakukan?
Yang sangat membingungkan, mengapa kebijakan yang diambil terkesan
tumpang tindih. Bulog selaku lembaga stok beras menyatakan persediaan beras
dalam kondisi aman untuk beberapa tahun ke depan dan juga gudang penyimpanan
beras tidak akan bisa menampung beras impor yang akan hadir atas kebijakan yang dibuat.
Tidakkah terpikirkan, apabila stok beras
berlebihan akan menyebabkan beras akan berkutu dan membusuk? Sirkulasi yang
tidak seimbang antara demand
dan supply serta ruang simpan beras
yang terbatas. Bila beras berkualitas rendah seperti ini dikirim ke rakyat
sebagai sumbangan bansos raskin, sudah otomatis dicomplain rakyat... Inilah salah satu efeknya melanggar basa basi benci produk
luar negeri.
Presiden Jokowi gaungkan benci
produk luar negeri, seriuskah? Ternyata tidak. Semua yang dilakukannya tampak
hanya retorika politik guna memikat hati rakyat. Faktanya, impor terus
berlangsung dalam jumlah besar di sektor vital strategis dan hanya menguntungkan pihak
oligarki.
Sistem yang menyediakan peluang bagi para
spekulan yang menguasai hajat pangan dan pertanian, distribusi serta konsumsi.
Di sini
tergambar patokan negara kapitalisme adalah materi dan kebebasan. Bagaimana
dengan pihak rakyat khususnya para petani sudah pasti harus menerima harga jual
beras yang anjlok... Sungguh miris.. Lelah yang hanya terbalaskan dengan
kekecewaan.
Seruan benci produk luar negeri juga tidak
diimbangi dengan peta jalan yang sungguh-sungguh
bisa memandirikan kemampuan dalam negeri. Buatlah
rakyat mencintai produk lokal, jangan membuat rakyat
menjadi produk gagal.
Bismillah...Percayalah
dan yakinlah apabila kita diatur dengan perundang-undangan Islam, maka hal
seperti ini tidak akan terjadi. Dalam Undang-Undang Perekonomian Islam, hukum
yang diatur akan memberi solusi menjamin sehatnya persaingan usaha. Memberi
dukungan dalam segala bentuk terhadap pengembangan produk dalam negeri, menolak tekanan global
perdagangan bebas dan menetapkan regulasi impor.
Dalam Islam,
ketahanan dan kedaulatan
pangan bisa terwujud karena pemerintah mendukung pendanaannya. Islam bukan saja
agama yang hanya mengatur hubungan umat dengan Tuhannya, tapi juga ideologis
praktis yang diterapkan dalam institusi negara khilafah. Orientasi kepemimpinannya
adalah riayah
suunil ummah yang
artinya mengurus kebutuhan rakyat.
Islam mewujudkan kemandirian pangan dan
jaminan pasokan pangan dengan mengoptimalkan daerah kekuasaannya yang bagus
untuk pertanian. Dengan cara peningkatan
produksi lahan dan produksi pertanian melalui eksistensi pertanian dan menghidupkan tanah-tanah mati atau tidak
produktif. Sesuai sabda Rasullulah SAW
dalam hadits riwayat Tirmidzi yang artinya, “Siapa saja yang
menghidupkan tanah
mati, maka tanah itu miliknya.”
Adapun cara yang dilakukan dalam
sistem pemerintahan Islam guna meningkatkan produksi
lokal yakni dengan meningkatan benih berkualitas, peningkatan teknologi
tinggi guna mendukung peningkatan hasil panen, selalu update
dan memberikan edukasi ilmu pertanian
serta melakukan intensifikasi pertanian guna
mengoptimalkan lahan pertanian untuk peningkatan hasil. Semua itu dilakukan demi kesejahteraan hidup rakyatnya.
Masih ragukah kita untuk memakai hukum yang akan meyejahterakan rakyat?[]
Post a Comment