Benci Produknya, Cinta Impornya

Aara Tobio (Mahasiswi, Komunitas Annisaa Ganesha)

Presiden Joko Widodo mengajak untuk mencintai produk-produk Indonesia. Dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021 yang diadakan pada Kamis, 4 Maret 2021 lalu, Jokowi membukanya dengan menggaungkan tentang hal ini. Tak hanya itu, beliau juga mengajak untuk membenci produk luar negeri (Tempo.co, 04/03/21). Masih dalam rapat yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa pemerintah akan mengimpor 1 hingga 1,5 juta ton beras dalam waktu dekat untuk menjaga ketersediaan beras dalam negeri sehingga harganya tetap terkendali (CNN Indonesia, 04/03/21).

Kedua pernyataan ini sangat bertolak belakang secara eksplisit. Secara langsung, terbukti bahwa ajakan untuk membenci produk luar negeri hanya retorika politik semata untuk memikat hati rakyat. Seruan dari Presiden ini berusaha membuat rakyat berpikir bahwa pemerintah sudah secara tegas menghalangi produk dari luar negeri. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, pemerintah masih mengimpor kebutuhan utama, yaitu bahan pangan dari luar negeri. Hal ini terjadi seolah ajakan untuk membenci hanya berlaku untuk rakyat.

Saat ini, nilai impor Indonesia sangat tinggi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor pada tahun 2020 mencapai USD 141.568,8 juta. Sebuah jumlah yang fantastis. Banyak yang menyangkal bahwa impor sangat diperlukan bagi kestabilan ekonomi bangsa. Terlebih karena banyak produk yang belum bisa dihasilkan oleh industri di Indonesia, contohnya barang yang paling banyak diimpor oleh negara, yaitu kelompok mesin dan alat angkutan. Namun, apakah benar bahwa akan sangat susah untuk terlepas dari kegiatan impor? Apakah slogan “berdikari” hanya berlaku saat puluhan tahun yang lalu?

Indonesia adalah negara yang kaya. Selain sumber daya alam yang melimpah, Indonesia juga memiliki generasi yang cemerlang. Semua potensi ini tentu sangat mungkin untuk dimanfaatkan sehingga Indonesia tidak kekurangan bahan makanan dan teknologi. Akan tetapi, kenyataan yang diceritakan kepada kita berkata sebaliknya. Mereka bilang, kita tidak mampu mencukupi kebutuhan sehingga membutuhkan impor. Hal ini berdampak hingga sekarang, dimana ketergantungan kita terhadap impor sudah tak terkendali. Saat ini, kita sangat membutuhkan dan sebenarnya sangat mampu untuk melaksanakan ekonomi yang mandiri.

Dalam negara Islam, pengembangan produk dalam negeri sangat didukung. Perdagangan bebas global dihindari dengan serius. Tekanan dari luar negeri ditolak dengan tegas sehingga umat tidak dikuasai oleh perjanjian impor yang merugikan. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan benar-benar ditujukan untuk menyejahterakan umat sehingga tidak disibukkan oleh urusan mencari harta di dunia. Dengan demikian, waktu dalam sehari pun dengan serius didedikasikan untuk beribadah. Betapa beruntungnya kehidupan rakyat apabila orientasi pemimpinnya sudah akhirat dan orientasi aturannya taat syariat.

Post a Comment

Previous Post Next Post