Finadefisa (Mahasiswi, Komunitas Annisaa Ganesha)
Baru saja akhir
bulan lalu Presiden meresmikan Gerakan Nasional Wakaf Uang serta brand
ekonomi syariah (finansial.bisnis.com, 25/01/21), tetapi kini pemerintah malah
memenjarakan pengusung syiar kembali pada ekonomi syariah
(nasional.okezone.com, 03/02/21). Ialah Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah
Depok yang sudah sejak lama gencar mendakwahkan untuk kembali bertransaksi
menggunakan dinar dan dirham sebagaimana pada masa kekhilafahan Islam dahulu.
Dalam pasar muamalahnya itu pun menggunakan dinar dan dirham sebagai alat
transaksi. Ia kemudian dijerat dengan alasan menggunakan mata uang selain
rupiah sebagai alat transaksi yang sah di Indonesia.
Banyak ahli
yang mengkritik pengangkapan ini. Ada yang bilang ini terlalu berlebihan, tidak
jelas, salah sasaran, dan sebagainya. Pasalnya, selain rupiah, beberapa mata
uang lain juga dibolehkan digunakan untuk bertransaksi. Menggunakan dinar
dirham juga sama saja seperti menggunakan voucher dan barter. Karena
dinar dan dirham itupun juga dibeli menggunakan mata uang rupiah apalagi dibeli
dari perusahaan emas di Indonesia, yaitu PT Antam.
Maka tampak sekali upaya penangkapan ini tidaklah bertujuan untuk penegakan hukum administrasi terkait alat transaksi. Tetapi merupakan wujud ketakutan terhadap ajaran Islam yang diterapkan alias islamophobia. Padahal transaksi ini tidak merugikan pemerintah sedikitpun dan tidak mengancam mereka. Tentu ini sangat kontras dengan kampanye pemerintah sendiri yang mengampanyekan ekonomi syariah. Inilah letak kenaifan tersebut. Pemerintah hanya pro terhadap ajaran islam jika mendatangkan keuntungan bagi mereka seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya yang berkaitan dengan uang, yaitu zakat profesi, wakaf uang, dan dana haji. Tetapi ketika dihadapkan pada ajaran Islam yang sesungguhnya, mereka malah mengingkari dan mengkriminalkan ajaran dan pelakunya.
Post a Comment