(Aktivis Perempuan Konawe)
Kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama (PA) Unaaha di Kabupaten Konawe terus meningkat di masa pandemi Covid-19. Dalam sehari, gugatan cerai yang diterima PA Unaaha bisa mencapai 20 hingga 30 berkas. Alasan ekonomi menjadi faktor utama yang membuat keharmonisan pasangan suami-istri retak dan berujung di meja persidangan. Selain itu, alasan gugatan cerai yang masuk karena faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan, perselingkuhan maupun hal klasik lainnya.
Humas PA Unaaha, Dr. Massadi, MH, memengakui, alasan dominan tingginya permohonan cerai yang masuk di PA Unaaha disebabkan faktor ekonomi. Adanya pembatasan aktivitas selama pandemi, membuat warga sulit mencari nafkah seperti biasa untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar dalam rumah tangga. Dari kondisi tersebut muncul pergolakan. Inilah yang kemudian memicu hubungan rumah tangga tidak harmonis lagi. Kebutuhan rumah tangga cukup tinggi sementara aktivitas di luar rumah terbatas.
Jika ditelisik lebih jauh, dimensi ketahanan ekonomi di masa pandemi juga ditentukan tingkat tabungan keluarga. Program inklusi keuangan nasional berhasil meningkatkan rumah tangga yang memiliki tabungan berupa uang, dari 62,97% (2015) menjadi 64,04% (2018). Masalahnya, jika pandemi berlangsung lama, tabungan akan habis.
Dalam penanganan Covid-19, pemerintah memang menempatkan kesehatan sebagai prioritas. Namun, pengelolaan ekonomi nasional, tidak bisa diabaikan. Keterbatasan tabungan menyebabkan banyak rumah tangga harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu dengan protokol kesehatan yang ketat.
Namun, perlu diingat, ada sekitar 35% rumah tangga yang tidak memiliki tabungan. Situasi pandemi menempatkan mereka pada ketahanan keluarga yang lemah untuk dimensi ketahanan ekonomi. Pemberian bansos tunai maupun sembako sangat membantu kelompok rumah tangga ini.
Untuk listrik, data Susenas BPS 2019 menunjukkan hampir seluruh rumah tangga (96,73%) menggunakan listrik PLN sebagai sumber penerangan utamanya. Namun, penurunan daya beli selama pandemi menyebabkan banyak rumah tangga tidak mampu membayar listrik.
Kompleksitas ini membuat ketahanan keluarga di masa pandemi menjadi dipertanyakan. Di satu sisi, adanya pandemi merupakan qadharullah dan warga diminta tetap di rumah. Tetapi, di sisi lain, pemerintah tidak menyediakan alternatif jangka panjang, misalnya dengan menanggung kebutuhan pokok masyarakat selama covid-19 berlangsung. Pada akhirnya, ikatan pernikahan menjadi korban.
Padahal, dalam Islam, pernikahan merupakan ikatan yang suci dan sangat layak dipertahankan. Sedari awal, pasangan suami-istri harus memahami posisi penafkahan dan tata kelola ekonomi keluarga. Idealnya, suami bekerja dan istri mengurus rumah.
Adapun dalam kondisi terjadinya wabah, lalu khalifah mengeluarkan kebijakan lockdown, maka negara bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar umat. Darimana dananya? Tentu dari baitul mal, dari pengelolaan sumber daya alam yang diatur secara mandiri oleh negara. Tidak diserahkan pada asing atau swasta.
Pun, negara berkewajiban menjaga agar pemenuhan nafkah berjalan sesuai aturan. Artinya, tak hanya mewajibkan suami untuk mencari nafkah, bahkan jika tidak ada lagi yang menafkahi perempuan dan anak, maka negara akan menjaminnya dari Baitul Mal. Negara berwenang menyediakan lapangan kerja yang luas.
Dengan demikian, kewasaran dalam rumah tangga tetap bisa terjaga. Sebab, negara dan masyarakat turut mengkondisikan ketenteraman tadi. Tak kalah penting, ketakwaan individu membuat pasangan suami-istri saling mendukung. Tetap bersama bukan di saat bahagia saja, tapi juga dalam keadaan ekonomi terjepit. Semua itu demi mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Wallahu’alam bisshawab.
Post a Comment