Wajah demokrasi kian memudar, jejak para pejuangnyapun mulai terhenti, kiranya masih menyimpan tanda tanya besar sejauh mana topeng kebohongan ini harus dipertahankan? Dulu ketika pewarisan putra mahkota yang jelas wujud kesalahan penerapan syariat pada masa dinasti kekhilafahan dicaci maki, berbeda halnya dengan dinasti era demokrasi, dianggap hal biasa dan wajar bahkan semua pihak diminta untuk memahami bagian proses berdemokrasi yang baik.
Dinamika politik akan bergantung pada restu para kapitalis, salah satu bukti bobroknya demokrasi datang daripada pilkada diprovinsi Banten, keluarga mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah pada pilkada serentak 2020 bakal dipastikan menyapu kemenangan di tiga daerah, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kota Tanggerang Selatan. pasalnya keluarga dan kekuasaan masih mewarnai dunia perpolitikan ala demokrasi.(Merdeka.com 28/12/2020).
Tak sekedar menjaga trah keturunan, dinasti politik ada untuk menjaga stabilitas aliran dana partai. Bagi kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinoi,Yoes C. Kenawas ada simbiosis mutualisme antara partai politik dan kandidat dari dinasti.
Partai membutuhkan dana operasional dan berharap kepala daerah terpilih turut bekerja mendukung mereka dalam pemilihan calon anggota legislatif di masa depan. Sementara dinasti politik memandang partai sebagai jalur paling aman dan resiko paling kecil, dibanding jika maju melalui jalur independen. Soal mengorbankan kader partai politik yang setia selama puluhan, menyingkirkan mereka tidak masalah.
Maka tarik ulur permainan hanya berkutik pada tatanan para penguasa, sehingga cikal bakal pemimpin yang akan lahir tidak jauh dari skenario yang dibuat oleh para elite penguasa. Demokrasi harga mati hanya berlaku untuk mereka yang memiliki wewenang mengubah keadaan dalam kedipan mata.
Topeng Ideologi demokrasi pasca sekularisasi politik di eropa, selepas perjanjian westphalia 1648, demokrasi didoktrin sebagai suatu ideologi tunggal terbaik yang dapat menghantarkan pada tatanan masyarakat yang egalitarian, adil, dan sejahtera. Dogma sistem demokrasi semakin menjadi-jadi setelah kebangrutan sistem totaliter komunis di bekas Uni Soviet dan eropa timur.
Reklamasi, objek silat lidah korporasi tidak menjanjikan apappun, sebagaimana yang disebutkan dalam buku”Apakah demokrasi itu?”, buku yang disebarluaskan kedutaan besar Amerika serikat untuk indonesia.
Di cover halaman belakangnya ditulis, Demokrasi sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya, dia menawarkan kesempatan untuk berhasil serta resiko kegagalan.” Inilah alasan mengapa setiap kebobrokan dan hasil kerusakan struktural pada elite penguasa dengan mudah distempel”akibat macetnyan saluran demokrasi”.
Demos kratos alias pemerintahan rakyat disepadankan dengan re-publica, yakni mengembalikan kekuasaan kepada public (rakyat). Gagasan ini mengemukakan pada Revolusi Prancis. Bentuk pemerintahan ini adalah kritik terhadap kekuasaan absolut para raja (monarki/mono archi) dan kekuasaan para bangsawan (aristokrasi). Ketika itu puncak absolutisme Prancis terjadi pada masa pemerintahan Raja Louis XIV (1643-1715) dengan semboyan I’etat cest moi (negara adalah saya).
Jika demikian berarti politik dinasti di alam demokrasi sama saja telah menelan ludah sendiri. Mengamalkan model pemerintahan yang telah dikritiknya bahkan sejarah perjuangan demokrasi telah menjungkalkannya.
Dari awal sudah bisa dibaca, bahwasyahnya politik yang tidak berstandarkan kepada agama tentu akan berbeda haluan. Dasar daripada demokrasi kapitalisme adalah aqidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, maka sudah menjadi tontonan gratis ketika proses yang ditempuh jauh dari kaca mata syariah.
Imam Ghazali pernah berkata”antara agama dan politik layaknya saudara kembar, maka semaksimal apapun ingin memisahkan keduanya tentu tidak akan bisa.” Maka sudah sewajarnya ketika masyarakat sudah tidak merasa aman lagi pada permainan politik yang hanya menguntungkan para penguasa dan bahkan menghilangkan fitrah beragamanya.
Dalam konsep dasar islam menetapkan manusia sebagai hamba yang diciptakan hanya untuk beribadah kepada Al-Khalik/Mudabbir.
“Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku(TQS. Adz-dzariyat:56)
Manusia diciptakan oleh Allah SWT. Maka sudah sewajarnya yang tahu kelemahan dan kelebihan manusia hanyalah Allah SWT. Bukan sesama manusia yang sifatnya terbatas dan melakukan aktivitas berdasarkan hawa nafsu.
“Yang berhak menetapkan hukum hanyalah Allah”(TQS. Yusuf:40)
Sangat jelas bahwa demokrasi berserta pilar-pilarnya sudah gagal menata konsep berdemokrasi dengan baik. Walaupun oknumnya berupaya menunjukan wajah demokrasi diterapkan secara murni dan konsekuen tetap hasilnya pasti fasad atau rusak. Buruknya praktik disebabkan kesallahn konsep.
Jadi untuk apa membuang energi memperjuangkan dan mempertahankan demokrasi yang gagal membangun konsepnya sendiri. Bukankah ada sistem lain yang yang akan menjamin kesejahteraan dan jauh dari omong kosong belaka, asasnyapun sudah jelas dan sistemnyapun sudah baku. Maka kembali kepada hukum Allah berarti menerapkan Khilafah.
Post a Comment