Islam Penawar Derita bagi Kaum Perempuan


Oleh : Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi

Perempuan adalah salah satu makhluk ciptaan Allah Swt. yang istimewa. Bahkan Islam sangat menghargai dan memuliakan perempuan. Rasulullah saw. bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR. Muslim : 3729)

Namun sayang, yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Saat ini, kaum perempuan sering kali mendapatkan perlakuan yang semena-mena. Perempuan mendapatkan diskriminasi dan dianggap sebagai makhluk yang lemah. 

Dalam beberapa kasus, hak-hak perempuan sering terabaikan. Seperti yang dialami oleh buruh perempuan yang bekerja pada perusahaan produsen es krim PT. Alpen Food Industry (AFI) atau Aice, Elitha Tri Novianti. Ia harus menjalani kuret, karena mengalami pendarahan hebat akibat bobot pekerjaan yang berat. 

Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh Aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 hingga saat ini sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan Aice. (theconversation.com, 18/03/2020)

Diduga perlakuan buruk yang dialami oleh buruh perempuan, terjadi karena adanya budaya patriaki. Patriaki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. (id.m.wikipedia.org)

Budaya patriaki menimbulkan stigma bahwa perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Sehingga menjadikan hal tersebut sebagai salah satu alasan bagi perusahaan enggan untuk mempekerjakan perempuan. Budaya patriaki juga membuat para buruh perempuan berada pada posisi yang lemah. Oleh karena itu, buruh perempuan sering diperlakukan semena-mena. 

Diskriminasi yang terjadi pada kaum perempuan, sebenarnya juga tidak terlepas dari sistem yang diterapkan saat ini yaitu sistem demokrasi kapitalisme. Penerapan sistem demokrasi kapitalisme telah membuat perempuan menjadi tumbal keserakahan bagi para kapitalis. Sistem kapitalisme yang selalu berorientasi pada materi, mengiming-imingi kesejahteraan kepada perempuan dengan bekerja. 

Sistem kapitalisme, yang pada dasarnya meniscayakan kebebasan kepemilikan, menyebabkan hegemoni tanpa batas dari para pemilik modal yang berkolaborasi dengan kekuasaan politik atas aset-aset milik umum. Kebebasan tersebut, juga telah mendorong para kapitalis untuk melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Sistem demokrasi, membuat para penguasa hanya sebagai regulator untuk memenuhi nafsu para kapitalis. Sehingga distribusi kekayaan begitu timpang dan gap sosial menganga lebar. 

Kemiskinan pun secara struktural terus terjadi, yang selanjutnya berimplikasi pada kenestapaan hidup perempuan. Akibatnya, mau tidak mau perempuan harus keluar rumah untuk bekerja. Agar mereka bisa membantu menopang kebutuhan ekonomi keluarga. Padahal dengan bekerja, hanya menjadikan perempuan lalai terhadap peran utama mereka sebagai pengasuh dan pendidik generasi.

Dan tidak jarang perempuan justru mengalami perlakuan yang buruk. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan kegagalan sistem demokrasi kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan bagi warga negaranya. Termasuk juga menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi perempuan. 

Tentu hal ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Karena dalam Islam, perempuan menjadi pihak yang ditanggung penafkahannya oleh walinya. Sehingga perempuan bisa benar-benar fokus untuk menjalankan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga). 

Di dalam Islam, dalam hal penafkahan perempuan tidak wajib untuk memenuhi kebutuhan mereka. Karena syariat Islam telah menetapkan kebutuhan perempuan wajib ditanggung oleh ayah, suami, atau wali mereka. Sehingga, para perempuan tidak perlu bersusah payah bekerja keluar rumah dengan menghadapi berbagai risiko demi memenuhi kebutuhan mereka. 

Dalam pemenuhan kebutuhan pokok setiap perempuan, Islam menerapkan berbagai strategi, yaitu :
1. Mewajibkan laki-laki yang baligh, berakal, dan mampu untuk menafkahi para perempuan yang menjadi tanggungannya. 

2. Jika individu tersebut, tidak mampu bekerja menanggung diri, istri, dan anak-anak perempuannya, maka beban tersebut dialihkan kepada ahli warisnya. Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah [2]: 233 yang artinya, "...Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian...."

3. Jika ahli waris tidak ada atau ahli waris ada tetapi tidak mampu untuk memberi nafkah, maka beban tersebut beralih kepada negara. Kebutuhan mereka akan ditanggung oleh negara dengan menggunakan dana dari Baitul Mal.

Agar para suami atau para pencari nafkah bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, maka negara akan memfasilitasi mereka untuk mendapatkan kemudahan mencari nafkah. Yaitu negara akan menyediakan lapangan kerja yang cukup banyak. Banyaknya lapangan kerja ini, karena negara memiliki kedaulatan penuh tanpa intervensi asing untuk mengelola kekayaan alam secara mandiri. 

Pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara, otomatis akan membuka lapangan kerja di banyak lini. Mulai dari tenaga ahli hingga tenaga terampil. Selain itu, negara juga akan menjamin dan memenuhi kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara mudah dan gratis. Sehingga, pendapatan keluarga hanya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan.

Kebutuhan sandang, pangan, dan papan ini pun akan diberikan secara mudah dan murah. Sehingga pendapatan mereka akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Itulah solusi yang Islam tawarkan sebagai penawar bagi penderitaan yang dialami oleh kaum perempuan saat ini. Sungguh, hanya Islam yang mampu menjaga dan memuliakan perempuan dengan baik melalui syariat-Nya yang sahih.

Wallaahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post